MOJOKERTO, Tugujatim.id – Masa kampanye Pemilu 2024 memang sedang berlangsung. Walau begitu, tak jarang masih ditemui tindak pidana pemilu yang secara sadar maupun tidak sadar dilakukan oleh peserta pemilu.
Pakar sekaligus Dosen Hukum Pidana Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, Dr Imron Rosyadi memberi penjelasan soal apa itu pidana pemilu dari sudut pandang hukum pidana.
“Pidana pemilu lebih pas sebagai bentuk pelanggaran dalam kontestasi pemilu saat ini, dan dalam perbuatan tersebut jika ditemukan bukti formal bisa dilakukan proses dalam pelaksanaan bagi siapapun yang melanggar untuk dilaporkan kepada lembaga yudisial, untuk menguji pelanggaran yang ditemukan di masyarakat oleh peserta kontestasi politik,” kata Imron, pada Sabtu (16/12/2023).
Lebih lanjut, Imron menjelaskan bahwa pemberlakuan sebuah tindakan sebagai tindak pidana harus merujuk pada aturan yang telah menjadi rujukan regulasi. Hal ini berkaitan tentang payung hukum yang dijadikan rujukan dalam penegakan. “Tindak pidana pemilu sebagaimana yang diatur dalam 66 pasal, yaitu terdapat dalam pasal 488 hingga pasal 554 UU Pemilu,” sambung Akademisi asal Mojokerto itu.
Tindak pidana pemilu sendiri sebenarnya bagian dari tindak pidana atau delik pidana. Jika berbicara tentang delik maka banyak sekali yang mengatur tentang perbuatan tersebut.
“Untuk itu secara spesifik diatur dalam tindak pidana atau delik pidana khusus, yaitu terkait dengan pelanggaran pemilu yang terjadi pada saat pemilihan umum berlangsung, maka harus terjadi pelanggaran saat pemilu berlangsung,” terang Imron.
Terkait apa saja yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran pemilu, Imron menerangkan bahwa terdapat beberapa perbuatan, di antaranya memberikan keterangan tidak benar dalam pengisian data hak pemilih atau data diri daftar pemilih, lalu kepala desa sebagai kendali masyarakat berbuat tidak adil atau semena-mena untuk melakukan tindakan dalam rangka menguntungkan pihak tertentu, dan dapat merugikan pihak lain dengan manipulasi data.
Selain itu, perbuatan membuat kacau dan menghalang-halangi atau mengganggu jalannya kampanye pemilihan umum, lalu kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan umum (KPU), serta membuat data tidak benar dan tidak sesuai dengan data hak pilih, serta menetapkan surat suara yang dicetak melebihi jumlah yang telah ditentukan juga masuk kategori tindak pidana pemilu.
“Jika terdapat pelanggaran pemilu sebagaimana yang telah ditentukan, maka bagi pelaku pelanggaran dianggap sebagai kejahatan pidana. Pengadilan dapat mengadili tindak pidana pemilu sebagaimana yang telah diatur dalam KUHAP kecuali terdapat aturan lain yang mengaturnya tentang Undang-Undang Pemilu,” jelas Imron.
Selanjutnya, jika terdapat dugaan pelanggaran dalam bentuk perbuatan sebagaimana disebutkan sebelumnya, maka harus memenuhi dua syarat yaitu syarat formil dan materiil.
“Syarat formil yaitu pihak yang merasa dirugikan dapat melakukan pelaporan, waktu pelaporan tidak melebihi batas waktu yang telah ditentukan, semua yang disyaratkan harus sesuai dengan data yang ada. Kemudian syarat materiil meliputi identitas pelapor, peristiwa dan uraian singkat kejadian, saksi-saksi dan barang bukti sebagai kekuatan laporan,” beber Imron.
Terkait sanksi, Imron menjelaskan bahwa sanksi yang berlaku lebih menjurus ke arah administratif. Namun hal ini berbeda jika terjadi berulang kali.
“Untuk sanksinya dapat diupayakan sebagai sanksi administratif saja. Namun bila terjadi berulang kali bisa diberikan sanksi pidana dan dapat dilakukan dengan bentuk penahan terhadap pelaku pelanggaran pemilu, sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang, pasal 492 UU Pemilu. Jadi sanksinya lebih kepada sanksi administratif,” pungkas Imron.
Reporter: Hanif Nanda
Editor: Lizya Kristanti