SURABAYA, Tugujatim.id – Apakah Anda mengenal Gedung Siola? Gedung Siola adalah gedung yang terletak di Jalan Genteng Kali Nomor 1 Kota Surabaya dan sekarang menjadi pusat pencatatan satu pintu dari Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Pada 2021, gedung berlantai 5 itu memiliki warna merah dengan garis putih pada setiap sekat temboknya. Sedangkan pada bagian depan gedung, berdiri kokoh tulisan “Tunjungan”.
Mengenal Sekilas Sejarah Gedung Siola di Jalan Genteng Kali Nomor 1 Kota Surabaya
Mengingat kilas balik Gedung Siola merupakan bangunan bersejarah yang pernah menjadi lokasi strategis para pejuang untuk menahan serangan sekutu yang datang dari utara. Gencatan senjata saat itu terjadi begitu sengit, andai Gedung Siola adalah makhluk hidup dan bisa berbicara, mungkin bakal bersaksi bahwa arek-arek Suroboyo berjuang mati-matian di masa pra-kemerdekaan RI.
Pemberian nama Gedung Siola sendiri muncul pada 1960 yang saat itu Soemitro, Ing Wibisono, Ong, Liem, dan Ang mendirikan gedung ritel untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Setelah kemerdekaan RI diperoleh, Gedung Siola menjadi pusat perbelanjaan hingga ditutup pada 1998, kemudian dibuka lagi pada 1999 dengan nama “Ramayana Siola”. Dalam beberapa waktu, gedung itu berganti nama lagi menjadi “Tunjungan City”.
Tepat pada 2015, Gedung Siola dipakai sebagai kantor Dinas Pendudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) Kota Surabaya, kantor Badan Koordinasi Pelayanan dan Penanaman Modal (BKPPM), dan Museum Surabaya. Saat itu Gedung Siola mulai menjadi lokasi Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) agar masyarakat dapat mengurus berbagai perizinan dan hak atas kekayaan intelektual (HAKI).
Hingga pada 2019, Gedung Siola menjadi bangunan dengan jembatan penghubung yang membelah jalan protokol hingga Galaxy Mall 3 dibuka. Berjalan dua tahun, tepatnya pada 2021, Gedung Siola menjadi lokasi yang kita kenal sekarang. Di lantai satu ada Museum Surabaya dan terhubung dengan Co-Working Space Koridor, tempat “nugas”, dan lokasi produktifnya arek-arek Suroboyo di masa kini.
Gedung Siola Masa Lalu Merupakan Bangunan yang Berbeda dengan Toko Ciyoda
Dari sejarah panjang itu, ada beberapa referensi kurang tepat yang menyebutkan bahwa Gedung Siola dulunya merupakan Toko Ciyoda yang dianggap menempati bekas Toko Whiteaway atau “White Laidlaw”. Padahal, Toko Ciyoda di Jalan Tunjungan Nomor 5 menempati bangunan yang berbeda dengan Toko Whiteaway yang ada di Jalan Tunjungan Nomor 1.
Lebih jauh, Prof Dr Purnawan Basundoro SS MHum selaku dosen Departemen Ilmu Sejarah Unair Surabaya sekaligus Ahli Cagar Budaya menegaskan, Toko Ciyoda dan Toko Whiteaway (yang berikutnya menjadi Gedung Siola) merupakan toko yang berbeda, dipisahkan oleh toko yang berada di Jalan Tunjungan Nomor 3 (sekarang Jalan Genteng Kali Nomor 3) Kota Surabaya.
“Dalam beberapa tulisan di berita ‘online’ disebutkan bahwa Toko Ciyoda Surabaya menempati bekas Toko Whiteaway (sekarang menjadi Gedung Siola, red). Berdasarkan penelusuran yang saya lakukan, tulisan tersebut kurang tepat karena ternyata Toko Ciyoda menempati bangunan yang berbeda dengan bangunan Toko Whiteaway,” terangnya, Kamis (15/07/2021).
“Toko Ciyoda berada di Jalan Tunjungan Nomor 5, sedangkan Toko Whiteaway berada di Jalan Tunjungan Nomor 1 (sering disebut juga di Jalan Genteng Nomor 1, red). Dengan demikian, kedua toko tersebut dipisahkan oleh satu toko yang berada di Jalan Tunjungan nomor 3,” sambungnya.
Selanjutnya, Prof Purnawan menjelaskan secara gamblang bahwa Toko Ciyoda merupakan toko yang dimiliki oleh pengusaha Jepang Okano Shigezo. Dibuka kali pertama di Kota Surabaya pada 29 Oktober 1933, saat masa penjajahan Jepang.
“Sepuluh hari sebelum dibuka, di Harian ‘Soerabaiasch Handelsblaad’ sudah terpasang iklan tentang akan dibukanya toko Jepang tersebut, yang akan dimeriahkan dengan pertunjukan tandak wayang dari Solo serta pementasan tarian Cherry Dances yang akan dibawakan oleh gadis Jepang yang cantik-cantik,” tuturnya.
Saat pembukaan Toko Ciyoda tiba, Prof Purnawan menjelaskan, sepanjang Jalan Tunjungan tampak sangat meriah karena banyak orang mendatangi toko yang menjual barang-barang dari Jepang dikenal dengan harganya yang begitu murah.
Pada pagi harinya, Prof Purnawan melanjutkan, tepat pada 30 Oktober 1933 muncul Harian “De Locomotief” yang terbit di Kota Semarang memberitakan kemeriahan pembukaan Toko Ciyoda lengkap dengan fotonya yang memperlihatkan bagian luar Toko Ciyoda ketika diresmikan di Kota Surabaya.
“Tanggal 1 November 1933, koran yang sama memuat lagi foto Toko Ciyoda saat pembukaan, tapi kali ini yang diperlihatkan kepada pembaca adalah kemeriahan bagian dalam toko,” bebernya.
Dari foto dokumentasi Toko Ciyoda yang dimiliki Prof Purnawan, tampak banyak orang yang berdesak-desakan memenuhi bagian dalam toko untuk berbelanja. Foto tersebut, Prof Purnawan melanjutkan, sempat ditulis dan dilampirkan dalam buku karya GH von Faber yang berjudul “Nieuw Soerabaia”.
“Pada foto yang kedua terlihat orang-orang berjubel di dalam toko menonton acara pembukaan. Foto bagian dalam ini dimuat pula dalam buku yang ditulis oleh GH von Faber, yaitu ‘Nieuw Soerabaia’,” tegasnya.
“Berdasarkan tampilan luar Toko Ciyoda, terlihat amat jelas bahwa bangunan tersebut bukanlah bangunan Toko Whiteaway saat itu (tahun 1933, red), tapi merupakan bangunan yang berbeda. Pada tampilan dalam, jelas sekali juga bahwa itu bukanlah tampilan Toko Whiteaway pula,” jelasnya.
Saat diamati lebih detail oleh Prof Purnawan, Toko Whiteaway yang sering kali disalahpahami sebagai bangunan pendahulu Gedung Siola, tidak memiliki bagian balkon yang sama dengan Toko Ciyoda. Hal itu juga diperkuat oleh Ahli Sejarah Penjajahan Jepang dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Meta Sekar Puji Astuti melalui foto Toko Ciyoda saat siang hari.
“Toko Whiteaway yang kemudian menjadi Gedung Siola bukanlah bangunan yang memiliki balkon semacam itu. Beberapa hari yang lalu saya berkorespondensi dengan Mbak Meta yang Ahli Sejarah Penjajahan Jepang dan saya dikirimi foto Toko Ciyoda saat siang hari, tampilannya sama sekali bukan tampilan Toko Whiteaway, sebagaimana terlihat pada foto ketiga di bawah,” sahutnya.
Prof Purnawan juga menjelaskan bahwa pada 1933 saat Toko Ciyoda dibuka, Toko Whiteaway juga masih beroperasi, kendati pemiliknya saat itu telah meninggal dunia.
“Pada 1933 saat Toko Ciyoda dibuka, Toko Whiteaway masih beroperasi secara lengkap. Memang pada tahun itu pemilik Toko Whiteaway yang tinggal di Inggris, Robert Laidlaw, meninggal dunia,” jelasnya.
“Tapi bukan berarti toko yang dimilikinya kemudian tutup. Toko tersebut tetap buka, bahkan pada 1939, toko tersebut dilakukan pembaruan, dipasangi AC di kamar ‘pass’-nya. Hal tersebut diberitakan dalam Surat Kabar ‘De Indische Courant’, 29 April 1939,” imbuhnya.
Baik Toko Whiteaway maupun Toko Ciyoda barulah tutup ketika bala tentara Jepang menduduki Kota Surabaya pada 1942. Prof Purnawan menegaskan, Toko Whiteaway tutup karena seluruh orang Eropa di Kota Surabaya pulang ke negeri asalnya masing-masing.
“Kalau ada yang masih tinggal di Kota Surabaya, mereka dimasukkan ke interniran oleh tentara Jepang. Sedangkan Toko Ciyoda tutup karena nyaris semua orang sipil Jepang di berbagai kota di Indonesia ditarik pulang ke Jepang,” paparnya.
“Hal itu dikuatkan oleh keterangan sejarawan ahli Jepang sekaligus dosen studi Jepang Unhas, Mbak Meta Sekar Puji Astuti,” sambungnya.
Berdasarkan data yang disampaikan dan dijelaskan panjang lebar oleh Prof Purnawan, dia menegaskan bahwa Toko Ciyoda bukanlah toko yang pernah menjadi bangunan pendahulu dari Gedung Siola.
Tapi, bangunan pendahulu Gedung Siola berada di sebelah selatan, selisih satu toko di Jalan Tunjungan Nomor 3, dari Toko Ciyoda Jalan Tunjungan Nomor 5. Bangunan pendahulu Gedung Siola itu bernama Toko Whiteaway di Jalan Tunjungan Nomor 1 (sekarang Jalan Genteng Kali Nomor 1).
“Dengan data-data tersebut, dalam keyakinan saya, Toko Ciyoda bukanlah toko yang pernah menempati Gedung Siola, tapi berada di sebelah selatannya, dengan selisih satu toko,” ujarnya.
Sebagai informasi, Prof Purnawan menambahkan, pada 1937 silam, Toko Ciyoda dilebarkan, ada pengembangan bangunan. Hal tersebut tertera pada foto nomor tiga yang terlihat mengakuisisi toko sebelahnya.