MALANG, Tugujatim.id – Penyusunan RUU KUHAP kini memasuki Prolegnas 2025. Pasca menuai pro kontra, akademisi Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (FH Unisma) turut meresponsnya melalui Seminar Nasional yang digelar di Hall KH Abdurrahman Wahid Unisma, Kota Malang, Jawa Timur, Kamis (13/02/2025).
FH Unisma menggelar Seminar Nasional dengan tajuk “Dilema Tumpang Tindih Kewenangan Polisi dan Jaksa: Urgensi Revisi RUU KUHAP dan RUU Kejaksaan dalam Bingkai Sistem Peradilan Pidana”. Dalam acara ini, mereka menghadirkan sejumlah akademisi hukum hingga advokat. Di antaranya, Rektor Unisma Prof Drs H. Junaidi MPd PhD, Dekan FH Unisma Dr Arfan Kaimudin SH MH, akademisi senior sekaligus guru besar di UB Prof Dr I Nyoman Nurjaya SH MS, dan advokat yang menjabat di DPN Peradi Dr H Shalih Mangara Sitompul SH MH.
Dalam seminar ini, Dekan FH Unisma Arfan Kaimudin mengatakan, acara ini digelar sebagai sikap akademisi untuk menjernihkan kekeruhan masalah di tengah masyarakat. Dia pun menyodorkan solusi terbaik dalam seminar ini.

Menurut Arfan, perancangan RUU KUHAP harus dikaji dari banyak sisi karena ada banyak tumpang tindih kewenangan antara polisi dan jaksa jika dipaksakan untuk disahkan. Dia merasa ketumpangtindihan kewenangan ini tidak baik untuk sistem.
”Saya rasa itu tidak baik untuk sistem yang kami rasa sudah ideal. Ketika kondisi itu terjadi, lagi-lagi yang dirugikan kan masyarakat karena tidak ada kepastian hukum,” ungkapnya.
Dia menambahkan, rancangan ini ditujukan sebagai respons trust issues warga ke polisi. Tapi, solusinya tidak serta-merta menarik kewenangan.
”Untuk evaluasi kan sudah ada sistemnya. Jadi tidak serta merta kewenangan itu kemudian ditarik,” tegasnya.
Baca Juga: FH Unisma Lepas Puluhan Calon Wisudawan, 60 Persen Mahasiswa Terserap Dunia Kerja
Meski begitu, seminar FH Unisma ini penting untuk merespons suatu kejadian sosial di sekitar. Ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan mahasiswa terhadap realitas hukum yang terjadi.
”Fenomena seperti ini harus diketahui dan disikapi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap produk hukum. Kami berharap lembaga yang berwenang dapat menerima masukan akademis sebagai bahan pertimbangan sebelum RUU KUHAP ini benar-benar disahkan,” harapnya.
Keganjilan Penyusunan RUU KUHAP
Sedangkan Guru Besar FH Universitas Brawijaya (UB) I Nyoman Nurjana menyoroti penyusunan RUU KUHAP dan RUU Kejaksaan secara bersamaan yang dianggap ganjil. Sebab, dia mengatakan, jika kedua rancangan tersebut dibahas bersamaan, dikhawatirkan akan terjadi tumpang tindih kewenangan dan konflik norma dalam sistem peradilan pidana.
Menurut Nyoman, RUU KUHAP merupakan lex generalis dari sistem penegakan hukum pidana di Indonesia. Sudah seharusnya pembahasan KUHAP harus dituntaskan terlebih dulu sebelum RUU Kejaksaan.
Nyoman mengatakan, rancangan KUHAP yang sedang dibahas itu merupakan lex generalis dari sistem penegakan hukum kita, sistem peradilan pidana terpadu. Seharusnya, KUHAP harus diselesaikan terlebih dulu sebagai payung hukum utama.
“Penegak hukum di pra-penyidikan polisi, lalu penuntutan jaksa sampai pemerintahan sedang mengalir itu juga punya UU sendiri yang mengatur dan itu yang disebut lex spesialisnya. Karena itu, KUHAP-nya harus selesai dulu,” jelasnya.
Karena itu, dia menekankan pembentukan undang-undang harus mengacu pada prinsip-prinsip yang ada dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ada dua asas utama yang harus diperhatikan, yaitu asas pembentukan peraturan yang benar dan asas muatan materi.

“Membentuk satu UU itu ada rujukannya. Yakni UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ada dua asas penting yang harus dirujuk. Yang pertama asas pembentukan peraturan perundang-undangnya, lembaga yang membentuknya ini harus benar,” jelasnya.
Alasan mekanisme, Prof Nyoman juga membeberkan, bahwa pembahasan RUU KUHAP dan RUU Kejaksaan secara bersamaan berpotensi menimbulkan overlapping kewenangan dan konflik norma dalam sistem peradilan pidana.
“Jika kita baca normanya memang saya melihat ada nuansa-nuansa intervensi, overlapping, dan ini yang harus dihindari. Kita berbicara mengenai hukum sebagai satu sistem dan sebagai sistem, norma yang harus dihindari adalah inkonsistensi, konflik norma, overlapping,” kata dia.
Selain itu, dia mengatakan, seluruh pihak khususnya akademisi juga perlu membahas lebih dalam pasal-pasal di RUU KUHAP secara komprehensif. Tidak hanya soal pengaturan kewenangan polisi dan jaksa saja yang bermasalah, tapi juga ada pasal lain yang belum dikritisi.
Dia menegaskan kepada para akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat bahwa masih ada waktu untuk memberikan masukan sebelum RUU KUHAP disahkan.
”Ini semua demi kebaikan bersama agar produk hukum yang dihasilkan benar-benar memperkuat sistem hukum di Indonesia,” ajaknya.
Wakil Ketum DPN Peradi Kritisi RUU
Kritisi terkait RUU KUHAP juga datang dari Wakil Ketum DPN Peradi Shalih Mangara Sitompul yang berpendapat jika RUU itu disahkan tanpa ada kajian akademik berpotensi merugikan pula bagi aktivitas para advokat.
Ini mengingat perubahan RUU KUHAP ke depan juga akan berdampak pada UU lain seperti UU Advokat. Artinya, pemerintah atau DPR RI juga wajib melakukan sinkronisasi dengan UU yang lain.
Selain ketidaksinkronan, Shalih juga menyorot potensi tumpang tindih kewenangan yang dapat menimbulkan benturan di lapangan. Dampaknya, advokat yang berperan aktif dalam sistem peradilan pidana juga akan terdampak.
Karena itu, dia menekankan bahwa pendapat masyarakat, terutama akademisi dan praktisi hukum, harus didengar dalam pembahasan RUU ini.
Baca Juga: FH Unisma Susun Kurikulum Bertaraf Internasional, Menuju World Class University
“Sinkronisasi dan penyesuaian RUU KUHAP ini harus segera dilakukan, termasuk menyerap pendapat masyarakat, terutama dari perguruan tinggi,” ujarnya.
Shalih mengingatkan, RUU KUHAP harus tetap memperhatikan prinsip hak asasi manusia (HAM). Jika seseorang ditetapkan sebagai tersangka tanpa kepastian hukum yang jelas, maka akan ada potensi pelanggaran HAM.
“Kalau orang yang ditersangkakan tidak ada kepastian hukum, kasihan orang itu. Padahal, orang itu belum tentu bersalah. Jangan sampai ada manusia yang terzalimi akibat produk hukum yang keliru,” tegasnya. (adv)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News Tugujatim.id
Writer: M. Ulul Azmy
Editor: Dwi Lindawati