Oleh: Rino Hayyu Setyo
KEDIRI, Tugujatim.id – Ibarat barang dagangan, seorang pedagang harus benar-benar mengerti dan kenal apa yang sedang ditawarkan kepada khalayak. Seorang pedagang tahu khas Kediri, pun harus bisa menjelaskan mungkin dari sejarah, rasa, dan tekstur ketika dikunjungi wisatawan, pembeli, maupun orang asing. Hal yang menarik salah satunya soal literasi.
Secara ringkas, hal yang paling unik dari sebuah produk tersebut harus ditawarkan untuk menarik perhatian dan simpati khalayak. Hingga akhirnya, seorang pembeli produk akan mau menerima dan membeli produk tersebut. Akan sangat mudah dilihat dan dinilai bila sebuah produk itu berupa barang. Namun, akan membutuhkan waktu yang lebih panjang bila menawarkan sebuah jasa.
Dari bilik sebuah kantor, obrolan pada Rabu siang (18/08/2021) itu sangat segar untuk mengusir rasa kantuk yang sewaktu-waktu datang menyelinap. Pertemuan siang itu, seperti membuka ruang harap baru. Apalagi, masih dalam suasana kemerdekaan Republik Indonesia ke-76 tahun yang tiba sehari sebelum pertemuan tersebut.
Kami berlima berkumpul dari berbagai bidang minat kajian dan profesi. Ada Ketua Fraksi PAN DPRD Kabupaten Kediri Abdul Rasyid, anggota Komisi IV DPRD Kabupaten Kediri Yusuf Aziz, Fungsionaris Forum Taman Baca Masyarakat (FTBM) Kabupaten Kediri Zanuarifki Taufikurohman, dan Ketua PC IMM Kediri Acmad Yudho Avianto.
Selain sebagai Kepala Biro Kediri Tugu Jatim ID, sebelumnya memang saya sudah berkecimpung mulai awal pendirian FTBM Kabupaten Kediri bersama Zanuarifki, tepatnya 2019 silam. Kini, Rifki yang kami dapuk sebagai ketua pun selalu intens berkomunikasi dan mencari varian baru dari kegiatan dan program Taman Baca Masyarakat (TBM).
Di hadapan kedua politikus Partai Amanat Nasional (PAN) Kediri itu, kami berdiskusi panjang bagaimana perkembangan mulai dari kemelekan aksara atau kini dikenal dengan literasi. Untuk sementara, kami jauhkan dulu dari pembicaraan politik praktis. Kami ingin membedah dan saling mendengar tentang perkembangan literasi.
Apalagi, sudah tuntutan zaman adanya disrubtion era, yakni digitalisasi. Kami harus menyambut itu tanpa harus membuang nilai tradisional atau warisan budaya ke-Indonesiaan, bahkan tentang Kediri-an.
Uniknya, kecakapan dan kemampuan “mendengar” cukup terlihat dari Mas Rasyid dan Mas Yusuf. Meskipun, secara jujur tentu telah banyak kita lihat sendiri bagaimana panggung politisi di Senayan melalui gelombang televisi maupun internet.
Mungkin kita bisa nilai, “banyak ngomong kurang dengar”. Stereotype tentang politisi yang demikian, rupanya harus saya tepis dulu. Saya harus adil untuk menilai kemampuan kedua politikus lokal ini mendengar tentang riset, program, kegiatan, dan landasan filosofis literasi.
Anggukan kepala, gerak jari yang menyambut penjelasan saya dan Rifki tentang pengembangan literasi di Kabupaten Kediri mungkin bisa dinilai untuk memasukkan kedua politikus ini menjadi pendengar dan penanggap yang baik. Bahkan, beberapa literatur sempat kami obrolkan ngalor-ngidul. Termasuk referensi payung hukum di beberapa kota-kabupaten tentang Kota Literasi.
Ya, butuh waktu dan penyampaian yang tepat untuk mengampanyekan apa itu literasi. Tentu ini bukan dagangan tahu. Tapi, ini jasa sosial pendidikan tentang kesadaran untuk terus belajar. Begitulah saya mendapatkan pengetahuan 11 tahun silam di bangku formal tentang pendidikan nonformal yang mengkaji tuntas literasi.
Pembuktian selama dua tahun berkegiatan di FTBM Kabupaten Kediri, mendapat sambutan hangat dari Mas Rasyid yang duduk di Komisi I DPRD Kabupaten Kediri. Begitu pula dengan Mas Yusuf yang menggawangi dan mengawasi bidang sosial, pendidikan, kesejahteraan, dan kesehatan di Kabupaten Kediri.
Secara produk hukum, Mas Rasyid yang menjadi pengawalnya. Tak cukup hanya Mas Rasyid, Mas Yusuf pun menimpali bila DPRD Kabupaten Kediri baru saja mengetuk palu tentang Kota Layak Anak (KLA). Nantinya, Yusuf mengatakan, ada sebuah satgas tiap desa di Kabupaten Kediri yang akan membela hak anak. Termasuk salah satunya jam belajar anak yang tentu terganggu dengan pandemi Covid-19. Salah satu obrolan ini mengerucut agar FTBM Kabupaten Kediri dapat memberikan support system dalam program KLA.
“Ini untuk melindungi hak belajar anak,” ungkap Rasyid.
Sesuai dengan kredonya, PAN ingin menjadi harapan. Dan tidak menambahkan kata palsu seperti yang keluar dari remaja-remaja galau. Semoga mimpi demi mimpi di masa pandemi bisa terwujud dengan berbagai elemen. Mari meleburkan ego untuk membangun budaya literasi di Kabupaten Kediri.
*Penulis adalah Kepala Biro Kediri, Tugu Jatim ID.