TUBAN, Tugujatim.id – Setiap tanggal 2 Oktober, Hari Batik Nasional diperingati sebagai momentum yang tepat untuk mengenalkan kekayaan warisan budaya Indonesia, salah satunya adalah Batik Singonegoro.
Di Desa Jetak, Kecamatan Montong, Kabupaten Tuban, batik ini telah menjadi ikon lokal yang memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri.
Miftahul Munir, seorang perajin Batik Singonegoro, menyampaikan, ini tidak hanya sekadar produk tekstil, tetapi juga simbol identitas budaya yang kental.
“Batik Singonegoro mengandung nilai sejarah dan filosofi yang sangat mendalam. Ini bukan hanya tentang estetika, tetapi juga tentang bagaimana kami merawat dan melestarikan budaya lokal,” ujarnya.
Secara umum, batik di Indonesia dikenal sebagai kain yang dihiasi motif-motif indah dengan menggunakan teknik malam, yakni proses pewarnaan khusus yang melibatkan lilin.
UNESCO sendiri telah mengakui batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi, sebuah penghargaan yang menegaskan betapa pentingnya batik dalam konteks budaya global.
Batik telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, baik sebagai busana kasual maupun formal. Batik Singonegoro yang berasal dari Desa Jetak memiliki keistimewaan tersendiri dengan motif-motif unik yang merepresentasikan sejarah dan kearifan lokal.
Miftahul Munir menambahkan, setiap motif Batik Singonegoro memiliki nilai filosofis yang kuat.
“Kami tidak hanya membuat batik dengan sembarangan. Setiap motif yang ada, seperti kepala singa atau kembang kopi, semuanya memiliki makna yang dalam dan erat kaitannya dengan sejarah serta potensi lokal Desa Jetak,” jelasnya.
Sejarah Batik Singonegoro tidak bisa lepas dari ikon Desa Jetak, yaitu lambang kepala singa yang mulai muncul di masyarakat sekitar 2010. Saat itu, Kepala Desa Jetak Moh. Zuhri Ali mencetuskan lambang tersebut sebagai simbol identitas desa, terinspirasi dari nama punden atau makam wali desa, yakni Singonegoro.
Nama Singonegoro kemudian melekat kuat di hati masyarakat, menjadi representasi kekuatan, kebersamaan, dan kemakmuran desa. Pada 2019, di bawah kepemimpinan Zakky Mubarrok Aly yang menjabat sebagai Kepala Desa, Batik Singonegoro mulai diproduksi secara massal dengan motif kepala singa sebagai maskot utama.
Didampingi oleh Ibu PKK, R.A. Yuwani, mereka menggagas batik yang tidak hanya menjadi produk lokal, tetapi juga alat untuk memperkenalkan budaya desa ke tingkat yang lebih luas.
Batik Singonegoro memiliki beberapa motif yang sarat akan makna filosofis. Setiap motif menceritakan kisah dan sejarah Desa Jetak yang kaya akan nilai-nilai budaya.
Beberapa motif utama yang menjadi andalan Batik Singonegoro:
1. Motif Kepala Singa (Singonegoro)
Motif ini melambangkan enam dukuh yang ada di Desa Jetak, yaitu representasi wilayah administrasi desa yang terdiri dari 32 RT dan 6 RW. Kepala singa sebagai simbol kekuatan dan keagungan, menggambarkan harapan untuk kemakmuran, keindahan, ketenteraman, serta keamanan yang terjalin melalui kebersamaan seluruh warga desa.
2. Motif Kembang Kopi (Kuncup Kopi)
Desa Jetak juga dikenal sebagai penghasil kopi dengan perkebunan seluas 9 hektare yang sedang dikembangkan menjadi 24 hektare. Motif kuncup kopi menggambarkan keindahan bunga kopi yang berwarna putih bersih dan harum semerbak.
Filosofi dari motif ini adalah keindahan yang singkat namun memiliki makna mendalam, mengajarkan bahwa segala sesuatu yang indah tidak selalu bertahan lama, tetapi dapat memberikan pengaruh yang kuat dan mendalam.
3. Motif Pecah Kopi
Motif ini memiliki filosofi yang unik, menggambarkan proses pengolahan biji kopi yang harus dihancurkan atau dipecah terlebih dahulu untuk mengeluarkan aroma dan cita rasa yang khas. Begitu pula dengan kehidupan, pengorbanan sering kali dibutuhkan untuk mencapai hasil yang lebih baik dan lebih bermakna.
Proses Pembuatan Batik Singonegoro yang Bernilai Seni Tinggi
Setiap lembar Batik Singonegoro diproses melalui berbagai tahap yang membutuhkan ketelitian dan kesabaran. Teknik pembuatan batik ini masih mempertahankan metode tradisional seperti menggunakan canting dan cap serta bahan pewarna alami yang diolah dengan teliti.
Proses panjang mulai dari pembuatan motif hingga pewarnaan dengan bahan alami, memberikan sentuhan keindahan yang memancarkan nilai seni tinggi.
Miftahul Munir menjelaskan, setiap tahapan pembuatan batik memerlukan dedikasi khusus.
“Dari mulai pencantingan hingga pewarnaan, kami selalu menggunakan bahan alami yang ramah lingkungan. Prosesnya memang panjang dan membutuhkan ketelatenan, tetapi hasilnya sepadan dengan keindahan yang dihasilkan,” tuturnya dengan bangga.
Batik Singonegoro bukan hanya sebuah kain yang digunakan untuk pakaian, tetapi sebuah karya seni yang membawa warisan leluhur dan kearifan lokal. Dengan terus dikembangkan, batik ini diharapkan dapat semakin dikenal dan dihargai oleh masyarakat luas, tidak hanya di tingkat lokal tetapi juga nasional.
Momentum Hari Batik Nasional menjadi pengingat betapa berharganya warisan budaya seperti Batik Singonegoro yang perlu terus dilestarikan agar tetap hidup dan menjadi kebanggaan bagi generasi mendatang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News Tugujatim.id
Writer: : Mochamad Abdurrochim
Editor: Dwi Lindawati