Tugujatim.id – Dewasa ini, kasus kekerasan seksual semakin marak terjadi. Bahkan, semakin lama banyak fakta yang terkuak hingga viral di media sosial (medsos). Karena itu, negara harus mengambil langkah pencegahan dan penanganan yang tepat, terutama dalam memberi perlindungan dan pemulihan bagi korban kekerasan maupun pelecehan seksual melalui RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Tapi hingga kini, draf Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) belum juga disahkan oleh DPR RI. Justru saat ini RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual tengah menuai pro kontra. Akibatnya, belum ada payung hukum yang pasti untuk menindak kejahatan ini.
Menurut Jurnal Parliamentary Review yang diterbitkan Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, RUU TPKS ini awalnya diinisiasi Komnas Perempuan pada 2012. Hingga saat ini, ada tiga draf, yaitu Draf I dari Komnas Perempuan dan FPL Tahun 2017, Draft II versi DPR Tahun 2017, dan Draft III Versi DPR 2021. Melansir dari website news.detik, RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebelumnya bernama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Lantas apa saja fakta menarik dari substansi RUU TPKS versi DPR per 16 November 2021 ini? Simak penjelasannya!
1. Sistematika
RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri dari 12 Bab dengan 75 pasal. Bab I Ketentuan Umum, Bab II Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Bab III mengatur Tindak Pidana Lain yang Berkaitan dengan Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Bab IV tentang Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan, Bab V berisi Hak Korban, Keluarga Korban, dan Saksi, Bab VI tentang UPTD PPAD, Bab VII mengatur Pencegahan, Koordinasi, dan Pemantauan, Bab VIII berisi Peran Serta Masyarakat dan Keluarga, Bab IX tentang Pendanaan, Bab X Kerjasama Internasional, Bab XI Ketentuan Peralihan, dan Bab XII Ketentuan Penutup.
2. Jenis Tindak Pidana Kekerasan Seksual
RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual mengatur beberapa jenis tindak pidana kekerasan seksual dalam Bab II, yaitu:
• Delik aduan pelecehan seksual non fisik berupa isyarat, tulisan, dan/atau perkataan yang berhubungan dengan keinginan seksual, diatur dalam Pasal 4 ayat (1), (2), dan (3), dapat dipidana penjara paling lama 9 bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.
• Pemaksaan kontrasepsi, diatur dalam Pasal 5, diancam pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 50.000.000.
• Pemaksaan sterilisasi, diatur dalam Pasal 6, diancam pidana penjara paling lama 9 tahun dan/atau pidana denda paling lama Rp 200.000.000.
• Pemaksaan hubungan seksual, diatur pada pasal 7, dapat dipidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000.
• Ekploitasi seksual diatur dalam Pasal 8, diancam pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp100.000.000 dan paling banyak Rp 1.000.000.000.
• Tindakan pelaku terkait kekerasan seksual yang telah dilakukannya beserta ancaman pidananya diatur dalam Pasal 9.
• Tindak Pidana kekerasan seksual oleh korporasi diatur dalam Pasal 13 ayat (1), (2), dan (3), dapat dipidana denda paling sedikit Rp 200.000.000 dan paling banyak Rp2.000.000.000.
• Dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana kekerasan seksual diatur dalam Bab III.
3. Ketentuan Pidana Tambahan
RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga memuat pidana tambahan, yaitu:
• Pasal 10 mengatur Pidana tambahan 1/3 untuk ketentuan pidana dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8, apabila Tindak Pidana Kekerasan Seksual memenuhi satu dan/atau beberapa unsur yang disebutkan huruf (a) sampai (l).
• Pasal 11 ayat (1) mengatur pidana tambahan bagi pelaku berupa pencabutan hak asuh anak atau pengampuan, pengumuman identitas pelaku, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, dan/atau pembayaran restitusi.
• Pasal 13 ayat (3) mengatur pidana tambahan bagi korporasi berupa pembayaran restitusi, pembiayaan pelatihan kerja, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana kekerasan seksual, pencabutan izin tertentu, penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan korporasi, dan/atau pembubaran korporasi.
4. Hak-Hak Korban
Hak korban meliputi hak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan, yang dijabarkan dalam Pasal 49, 50, 51, 52, dan 53. Hak korban atas penanganan dalam Pasal 51 ayat (1), meliputi:
• Hak atas informasi terhadap seluruh proses dan hasil penanganan, perlindungan, dan pemulihan
• Hak mendapatkan dokumen hasil penanganan
• Hak atas pendampingan dan bantuan hukum
• Hak atas penguatan psikologis
• Hak atas pelayanan kesehatan
• Hak atas layanan dan fasilitas sesuai kebutuhan khusus korban
Kemudian, hak korban atas perlindungan diatur dalam Pasal 52 ayat (1) yang mencakup: penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas perlindungan, penyediaan akses terhadap informasi penyelenggaraan perlindungan, perlindungan dari ancaman atau kekerasan pelaku dan pihak lain serta berulangnya kekerasan, perlindungan atas kerahasiaan identitas.
Kemudian, perlindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan dan/atau menguatkan stigma terhadap korban, perlindungan dari kehilangan pekerjaan, mutasi pekerjaan, pendidikan, atau akses politik, dan perlindungan korban dan/atau pelapor dari tuntutan pidana atau gugatan perdata atas peristiwa Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang ia laporkan. Terakhir, Hak korban atas pemulihan diatur dalam Pasal 53 ayat (1) yang meliputi pemulihan fisik, psikologis, ekonomi, sosial dan budaya, dan ganti rugi.