Tugujatim.id – Remaja biasanya mengalami kegelisahan tersendiri di momen lebaran. Mulai dari pertanyaan; sudah punya pacar? Kapan nikah? Hingga bertemu dengan mantan pacar yang provokatif. Lalu bagaimana cara menghadapi mantan yang provokatif saat silaturahmi lebaran?
Pakar Psikologi Universitas Negeri Malang (UM) Dr. Tutut Chusniyah , S.Psi, M.Si menyatakan, perjalanan kehidupan seseorang memang berbeda-beda. Tentu cara menghadapi mantan yang provokatif tersebut menurutnya juga bisa berbeda. Karena pada setiap proses terjadinya jalinan kisah hingga pisah juga bisa berbeda.
Hal itu kata Tutut, bergantung pada bagaimana proses-proses tersebut berjalan. Apakah kedua remaja berpisah dengan damai, atau dengan konflik. Namun menurutnya, emosi bisa saja ada atau muncul, bagaimanapun proses tersebut.
“Karena namanya remaja kan belum matang secara psikologis. Misalnya, masih ada rasa yang tertinggal. Ingatan tentang masa lalu kadang masih muncul,” ujarnya.
Dekan Fakultas Psikologi UM ini juga menambahkan, remaja adalah fase dimana sedang berkembang menuju dewasa. Jadi secara emosional kata dia, remaja sudah berkembang pada tahap mandiri secara emosi.
“Jadi emosinya – sudah pada tahap- tidak tergantung pada orang lain. Kita bahagia bukan karena kamu yang membuat bahagia, kita sedih bukan karena kamu memutuskan aku. Ini aku sendiri,” tuturnya.
Untuk mandiri secara emosi sejak remaja kata Tutut, memang harus dimulai dengan pendidikan kecerdasan emosional sejak dini dari orang tua untuk anaknya.
“Ya diajarin. Kamu lagi kesal ya? Kenapa kesal? Bagaimana mengungkapkan kesal? Itu kecerdasan emosional,” terangnya.
Dengan begitu kata Tutut, anak bisa menyadari apa yang dirasakan, tahu penyebab emosi terjadi, juga bagaimana mengekspresikan emosi secara tepat dan tidak berlebihan. Karena jika tidak diajarkan sejak dini menurutnya, dapat menyebabkan ketidakseimbangan antara kognisi dan emosi anak. Secara kognitif pintar, tapi emosional kurang pintar.
Menghadapi Mantan Provokatif
Emosi adalah perasaan. Setiap orang memiliki emosi. Apalagi ada mantan kekasih yang melakukan provokasi terhadap mantannya. Misalnya dengan menunjukkan pacar baru, atau mobil baru, atau apapun yang dipamerkan.
Tutut menjelaskan, seseorang akan melalui tahapan evaluasi di otak, sebelum mengekspresikan emosi. Nah, pada tahapan evaluasi ini, memang bergantung pada proses-proses yang pernah dialami. Jika emosi seseorang sudah matang, maka dapat mengelola emosi dengan baik. Dan pada prosesnya, seseorang memerlukan penguatan fungsi evaluasi secara terus-menerus.
“Jadi ada evaluasi di otak kita. Eh, ngapain dia pamer begitu? Emang lu siapa? Emang gue pikirin! Biar aja, itu hidup dia, gue beda!” Tutut menggambarkan evaluasi yang mungkin terjadi.
Begitu juga menurutnya, bisa saja seseorang mengasilkan emosi positif setelah melakukan kelola dan evaluasi. Misalnya, seseorang tidak perlu repot-repot melakukan respons terhadap provokasi yang dilakukan mantan. Cukup diam saja dan tersenyum.
Karena jika evaluasinya negatif kata Tutut, maka hasilnya adalah emosi negatif. Marah, dan sejenisnya. Dan itu boleh-boleh saja. Karena itu tadi, setiap orang punya emosi. Dan ekspresi emosi setiap orang bisa berbeda tergantung budaya setempat.
“Ya seperti marah, kan tidak selalu harus mengumpat. Bisa jadi diam. Budaya orang jawa bagaimana kalau marah, budaya lain bagaimana, kan berbeda juga,” imbuhnya.
Apakah boleh marah? Dengan tegas ahli psikologi ini menjawab boleh. Asalkan menurutnya, tidak menyakiti orang lain, secara fisik atau pun psikis. Bahkan kata Tutut, menyakiti diri sendiri juga dilarang. Jadi kalau marah, tidak boleh menyakiti siapapun.
“Kalau marah itu menyehatkan, ya silakan marah! Tapi harus tertakar dengan tingkat masalah yang memunculkan marah tersebut,” tegasnya.
Emosi seperti marah kata Tutut adalah hal wajar, karena dalam Psikologi Lingkungan, setiap orang punya beban stres masing-masing. Mulai dari pekerjaan, masalah di rumah, hingga perkembangan teknologi harian yang menambah tingkat kecemasan dan mengakibatkan fatig.
“Sehingga jalan raya dikenal orang jadi tempat sampah emosi. Nah, kita tidak perlu terprovokasi dengan sampah emosi orang lain. Mereka membuang emosi, kita tidak perlu memberi respons,” tukasnya.
Pesan untuk Mantan yang Tertimpa Provokasi
Tutut menjelaskan bahwa perasaan negatif akan menyakiti diri sendiri. Maka hal itu harus diselesaikan terlebih dahulu. Karena jika sudah selesai pada permasalahan diri, maka akan mudah menghadapi permasalahan terkait.
“Kalau mantan memprovokasi, bawa pacar baru, bullying, tinggal bilang; Its okay. Saya punya hidup sendiri yang harus dilanjutkan,” jelasnya.
Mantan yang tertimpa provokasi kata Tutut, tidak perlu membalas. Bisa saja melampiaskan emosi ke arena yang lain. Misalnya berpenampilan lebih modis, anggun, lebih fresh, bahkan punya prestasi atau moncer karir.
“Tapi jangan membuat kepalsuan, misalnya lebih modis tapi dengan cara berhutang. Yang seperti itu tidak lebih oke,” pungkasnya.