PEKANBARU, Tugujatim.id — Dua puluh tiga tahun berlalu dan akhirnya saya bisa kembali merasakan suasana Kota Pekanbaru.
Dulu, saya mengunjungi Ibu Kota Provinsi Riau itu untuk melaksanakan penugasan pemantauan media yang diberikan oleh Yayasan Kajian Informasi, Pendidikan dan Penerbitan Sumatera atau Yayasan KIPPAS Medan, sekitar Desember 1999.
Saya tiba di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pekanbaru pada Senin malam, 9 Mei 2022. Riau jadi provinsi kesembilan yang saya singgahi dalam perjalanan mudik bersepeda motor dari Kota Malang, Provinsi Jawa Timur, hingga ke Kota Medan, Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Sumut).
Secara geografis, posisi Riau dan Sumut berjiran sehingga jarak tempuh dari Pekanbaru ke Medan kian pendek, tersisa 646 kilometer. Pekanbaru sendiri jadi kota ke-50 yang saya mampiri. Masih ada 11 kabupaten/kota lagi yang harus saya lewati untuk mencapai Medan.
Berselang dua jam, saya diajak empat anggota AJI Pekanbaru untuk mencari makanan dan minuman. Dari beberapa pilihan tempat nongkrong, kami memilih warung bandrek di Jalan Panglima Sudirman, persis di seberang Kantor Bank CIMB Niaga. Orang-orang Pekanbaru menyebutnya Warung Bandrek Niaga Sudirman. Warung ini kepunyaan Bang Roy dan buka mulai pukul 7 malam sampai jam 2 pagi.
Bandrek merupakan minuman hangat yang dibuat dari jahe, gula aren, lada, dan santan. Meski pakai nama bandrek, tapi warung Bang Roy mirip kedai serba ada yang menjual beragam makanan dan minuman. “Kami punya bermacam jenis jamu. Minuman lain juga ada, tinggal pilih sesuai selera dan kebutuhan,” kata Bang Roy kepada saya.
Tulisan nama menu di gerobak dan spanduk dagangan Bang Roy bisa membuat orang yang membacanya tersenyum geli dan juga tersugesti. Tidak semua nama menu ditulis konkret sehingga konsumen tidak tahu apa sebenarnya nama menu yang ditawarkan. Konsumen silakan bertanya langsung kepada Bang Roy dan asistennya untuk mengetahui nama menu.
Nama jamu tidak disebutkan secara spesifik. Hanya ada tulisan fungsi dan khasiatnya. Sebagai contoh: jamu sehat pria perkasa, obat lemah syahwat penambah hormon, jamu pegal linu dan sakit pinggang, air akar asam manis, jamu campur jahe, jamu tolak angin, jamu penambah nafsu makan, dan jamu penyegar badan.
Menurut Bang Roy, kebanyakan konsumen menyukai bandrek dingin, sekoteng, kopi gingseng, STMJ (susu telur madu jahe), teh tarik, dan yang terlaris teh telur (teh talua) dan teh talua tapai. Semua tersedia dalam sajian hangat/panas dan dingin.
Minuman itu biasanya berpasangan dengan mi goreng (bihun, mi kuning, kwetiau), nasi goreng, serta “minas” alias mi nasi goreng. Minas berkombinasi unik dan tergolong menu “kelas berat” karena mi dan nasi sama-sama mengandung tinggi kalori yang bisa memicu kegemukan dan diabetes.
Perlu diketahui, menu minas mengingatkan saya pada nama Kecamatan Minas di Kabupaten Siak. Kecamatan ini merupakan daerah pengeboran minyak pertama di Riau. Lokasinya ditemukan pada Maret 1941 dan pengeboran dimulai 10 Desember 1944 dengan menggunakan pompa angguk merek Lufkin. Pompa uzur Lufkin masih ada dan dijadikan monumen sejarah perminyakan di Riau yang berlokasi persis di tepi Jalan Lintas Timur Sumatera.
Fakhrurrozi Baidi memesan minas. Tiga kawan lain memesan mi goreng dan nasi goreng biasa. Saya sendiri sangat menyukai kwetiau goreng. Urusan minum, dua kawan memesan teh tarik, segelas sekoteng, dan saya sendiri memesan teh talua.
Saya memilih teh talua karena susah didapat dibanding bandrek, teh tarik, sekoteng, apalagi STMJ. Saya terakhir kali minum teh talua pada Juni 1997 di Padang, Ibu Kota Provinsi Sumatera Barat. Ya, pembaca, teh talua memang minuman khas Sumatera Barat yang kini gampang ditemukan di Pekanbaru.
Teh talua makin eksis seturut bertambahnya populasi etnis Minangkabau di Pekanbaru. Sebagai data, berdasarkan hasil sensus penduduk per September 2020, Pekanbaru berpenduduk 983.356 jiwa. Sebanyak 41 persen penduduk beretnis Minangkabau. Selebihnya beretnis Melayu, Jawa, Tionghoa, dan Batak.
Teh talua lazim dinikmati untuk menghangatkan tubuh di malam hari, sekaligus untuk mendongkrak gairah dan tenaga. “Buat kuat malam,” ujar Bang Roy spontan dan lalu tergelak. Asistennya pun ikut tertawa.
Bang Roy tidak memperjelas makna tiga kata yang ia ucapkan. Mungkin ia menganggap saya sudah tahu makna sebenarnya, seperti yang jamak diketahui orang-orang di Pekanbaru, termasuk empat kawan saya.
Ada beberapa varian teh talua: teh talua tapai, teh talua gula aren, dan teh talua pinang. Secara umum, adonan teh talua sama saja, hanya berbeda pada takaran dan cara penyajian.
Bang Roy mengatakan, teh talua harus pakai pinang muda terbaik. Pinang muda dipercaya dapat meningkatkan kualitas rasa teh talua jadi lebih sedap, solid, dan konsisten. Sedangkan teh yang dipakai berjenis teh hitam asli dari perkebunan teh Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi.
Seorang asisten Roy menerangkan sekaligus memperagakan cara membuat teh talua pinang. Pertama, bahan gula pasir, kuning telur ayam kampung (boleh telur bebek), dan susu kental manis dicampur dan diaduk sampai berbentuk adonan. Kedua, lima butir buah pinang dibelah dan dagingnya dikerik. Ketiga, adonan dan daging pinang diblender menggunakan mesin mikser (mixer) sampai adonan mengembang.
Keempat, adonan tadi diberi air rebusan teh. Lalu disaring dan diaduk perlahan sampai berbuih atau berbusa. Bahkan, bila perlu, biarkan buihnya meleleh dan menempel di bibir gelas. Lelehan buih ini sangat menggoda selera.
“Semakin kental semakin enak, Bang. Ada sensasi krimnya. Tidak ada amis telurnya seperti yang dikira orang-orang yang tak pernah mencobanya,” ujar si asisten. “Kalau mau, Abang boleh coba teh talua tapai. Cuma ditambahi tapai sedikit yang diaduk.”
Teh talua lebih nikmat diseruput ketika masih panas. Di bagian atas gelas tampak busa yang terasa kesat dan manis; bagian tengahnya dikuasai sensasi teh kental, serta endapan sisa gula di dasar gelas juga terasa manis.
Nah, Fakhrurrozi memprovokasi saya untuk mencicipi teh talua pinang atau teh telur pinang. Teman saya ini bilang teh talua sangat cocok bagi saya yang sudah sepuluh hari menempuh perjalanan dari Kota Malang ke Pakanbaru.
“Abang harus minum (teh talua pinang) supaya stamina Abang kembali normal dan tambah perkasa. Kalau Abang tidak minum, berarti Abang belum sampai Pekanbaru dan bagusnya Abang balik saja ke Malang,” kata Fakhrurrozi, disusul gelak tawa.
Tiga kawan lain pun ikut memprovokasi. Fakhrurozi dan kawan-kawan memang doyan berkelakar.
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugujatim , Facebook Tugu Jatim ,
Youtube Tugu Jatim ID , dan Twitter @tugujatim