MALANG, Tugujatim.id – Demo penolakan terhadap Undang-undang Cipta Kerja dan Omnibus Law pada 8 Oktober 2020 lalu masih menyisakan pengalaman tersendiri bagi para peserta aksi saat itu. Bagaimana tidak, bisa dibilang aksi tersebut adalah salah satu aksi yang berakhir paling ricuh sepanjang demontrasi yang pernah dilakukan di depan gedung DPRD Kota Malang.
Begitupun yang dirasakan oleh Lintang Imaniar, mahasiswa jurusan Matematika Fakultas MIPA Universitas Negeri Malang (UM), yang mana saat itu adalah pengalaman pertamanya menjadi koordinator lapangan.
“Yang paling mengesankan adalah pas demo Omnibus Law, karena saya baru jadi koordinator lapangan. Tapi situasi di lapangan sudah ricuh pas kita baru datang di Bundaran Tugu (Alun-alun Tugu Malang, red), dan mahasiswa yang saya bawa itu ada 130 orang, saya juga harus mengkondisikan mereka juga waktu itu,” ungkapnya saat diwawancarai Tugumalang.id, grup Tugu Jatim pada Selasa (10/8/2021).
Sebelumnya, pria yang akrab disapa Lintang ini menceritakan jika pengalaman pertamanya turun ke jalan ada setahun sebelum kericuhan demo Omnibus Law di Malang.

“Pengalamanku ikut pergerakan itu tahun 2019 saat masih tergabung di BEM Fakultas MIPA, saat itu ikut aksi yang menolak RUU KUHP. Jadi, aku masih diajak kakak-kakak tingkat, jadi aku masih staf waktu itu. Sehingga waktu itu aku punya pengalaman untuk pertama kalinya melakukan pergerakan, terutama yang sampai tutun ke jalan,” bebernya.
“Selanjutnya aku ikut aksi di Rektorat UM, dan ini juga menambah pengalaman turun ke jalan,” sambungnya.
Baru pada tahun 2020 ia naik menjadi bagian dari BEM Universitas Negeri Malang (UM) dan langsung diamanahi menjadi koordinator lapangan aksi menolak Omnibus Law.
“Awalnya memang kebingungan harus ngapain, ternyata di situ saya dikasih ilmu juga oleh koordinator dan menteri. Sehingga punya gambaran untuk bagaimana menjadi koordinator aksi lapangan. Dan eksekusinya pada aksi Omnibus Law tanggal 8 Oktober 2020 lalu,” ungkapnya.
Pemuda asli Desa Druju, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, ini menceritakan kronologi menurut versinya adalah ia dan oara mahasiswa UM berkumpul dahulu di Stadion Gajayana sekitar pukul 09.00 WIB, dan berangkat ke bundaran tugu sekitar jam 11.00 WIB dengan berjalan kaki.
“Sampai di tugu itu kalau gak salah jam setengah satu siang, dan jam satu siang itu udah ricuh,” ungkapnya.
Lintang menceritakan jika saat kericuhan ia beserta teman-temannya terpencar-pencar, sehingga ia kesulitan mencari anak-anak UM karena kondisi sidah chaos.
“Sehingga saya buat blok, jadi misalnya di gang masuk ke tugu itu sebagai blok 1, jadi anak-anak kumpul di situ. Dan blok 2 di perempatan masjid arah ke Pasar Hewan Splendit. Lalu blok tiga ada di perempatan BCA,” tandasnya.
Belum lagi, waktu itu anggotanya yang kepalanya sampai terkena peluru gas air mata.
“Jadi harus langsung dilarikan ke Puskesmas, takutnya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” tuturnya.
Terakhir, ia menceritakan jika itu adalah pengalaman yang tidak akan terlupakan sepanjang hidupnya.
“Karena memang bikin deg-degan banget, karena juga berurusan dengan nyawa juga waktu itu. Alhamdulillah gak ada korban yang parah, hanya luka-luka kecil,” pungkas mahasiswa yang tergabung dalam organisasi HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) ini.