SURABAYA, Tugujatim.id – Presiden Jokowi menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada 2 Februari 2021. Dalam peraturan itu, “fly ash and bottom ash” (FABA) atau abu batu bara ditetapkan sebagai bukan limbah bahan berbahaya beracun (B3). PP Nomor 22 Tahun 2021 itu ramai ditanggapi aktivis, akademisi, dan pegiat lingkungan hidup.
Dosen Hukum Lingkungan, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta Agung Wardana SH LLM PhD ikut merespons ketetapan itu. Menurut dia, ketetapan itu tidak mengejutkan karena PP Nomor 22 Tahun 2021 merupakan turunan dari Omnibus Law yang diteken pada akhir tahun lalu.
“Keluarnya PP Nomor 22 Tahun 2021 dan lampirannya, bagi saya tidak mengejutkan. Sebab, PP ini turunan dari UU Cipta Kerja (Omnibus Law, red) yang sedari awal bertujuan untuk memberikan keistimewaan bagi pelaku usaha,” terang Agung pada Tugu Jatim Sabtu siang (13/03/2021).
Apalagi, Agung menjelaskan, selama ini memang FABA masuk dalam kategori limbah B3. Hal itu membuat pengusaha batu bara agresif menggelar lobi-lobi dengan pemerintah untuk melonggarkan listing FABA.
“Selama ini karena FABA masuk dalam kategori limbah B3, tentu ini membebani dunia usaha yang menggunakan batu bara dalam pengelolaan FABA. Asosiasi pengusaha juga sangat agresif melakukan lobi agar pemerintah merileksasi pengelolaan tersebut,” imbuhnya.
Ada dua jenis limbah yang dipakai rujukan oleh Indonesia, yaitu limbah B3 dan non-B3. Masing-masing jenis limbah, Agung menjelaskan, punya perlakuan yang berbeda dalam pengelolaannya.
“Sedangkan di negara luar, kategori limbahnya tidak hanya 2, tapi ada yang namanya limbah spesifik di luar kategori limbah B3 dan non-B3. Limbah spesifik ini membutuhkan perhatian yang khusus pula yang standarnya berbeda dengan limbah B3. Ini yang tidak diungkapkan ke publik. Seolah ketika FABA di luar negeri tidak masuk limbah B3, berarti masuk non-B3, padahal tidak seperti itu,” tuturnya.
Mengenai bahaya asap batu bara atau FABA, Agung menerangkan, ada kandungan arsenik dan merkuri yang membawa dampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan hidup.
“Sudah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa dalam FABA ada kandungan berbahaya semacam arsenik hingga merkuri, yang tentu memiliki dampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan. Jika memang pemerintah mempunyai data atau kajian lain dalam mendukung delisting FABA, semestinya data dan kajian tersebut dibuka dulu ke publik sehingga mereka bisa mempelajari basis scientific dari delisting tersebut,” ujarnya. (Rangga Aji/ln)