Ciptakan Ekosistem Kerja Layak, Pekerja dan Perusahaan Imbang Bikin Sistem Kerja yang Sehat

Diskusi tentang persoalan ketenagarakerjaan oleh SINDIKASI, Sraya, aktivis butuh dan pekerja kreatif di Kota Surabaya, beberapa waktu lalu. (Foto: Izzatun Najibah/Tugu Jatim)

SURABAYA, Tugujatim.id Lokasi kantor yang dekat dengan tempat tinggal atau penghasilan tinggi tidak selalu menjadi tolok ukur bagi para jobseeker dalam mencari pekerjaan maupun menciptakan ekosistem kerja layak. Namun, sistem kerja dan lingkungan yang sehat juga sangat dibutuhkan untuk pengembangan karir.

Saat ini, masih banyak dari kalangan pekerja di Indonesia, terutama di Surabaya yang belum menyadari tentang pentingnya ekosistem kerja layak atau decent work. Jam kerja berlebih, upah yang tidak sesuai dengan kinerja, atau limpahan job desk menjadi bayang-bayang hitam bagi pekerja atau karyawan.
Padahal, jika didukung dengan sistem kerja yang sesuai dan nyaman, akan dapat menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten serta kompetitif di industrinya. Tidak hanya itu, hal tersebut juga akan berpengaruh pada elektabilitas perusahaan.

Baca Juga:

Daftar 5 Beasiswa Dalam Negeri Tanpa Surat Keterangan Tidak Mampu

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) Lajovi Pratama mengungkapkan, masih sering terjadi ketimpangan antara pekerja dan perusahaan sehingga menciptakan masalah eksploitatif.

“Secara terbuka, kami melihat ada masalah relasi kuasa antara pekerja dan pemberi kerja belum seimbang. Sehingga mau nggak mau, pekerja terpaksa melakukan tugas dan kerjanya sesuai dengan arahan pemberi kerja tapi tidak bisa bernegosiasi. Akibatnya, muncul bentuk-bentuk eksploitatif yang ditoleransi,” kata Jovi kepada Tugujatim.id di Kota Surabaya saat diskusi terbuka pada Sabtu (11/03/2023).

Baca Juga:

Ledakan di Malang Beri Petunjuk Penemuan Pembuatan Mercon

Menurut dia, tindakan eksploitasi yang ditoleransi dalam dunia kerja seiring berjalannya waktu akan membentuk normalisasi. Hal itu membuat para pekerja harus memiliki kecakapan berbicara dan keberanian untuk bernegosiasi dengan perusahaan.

“Harusnya kondisi ini dibangun kesadaran kepada para pekerja bahwa mereka harus bicara. Mereka harus berani bernegosiasi. Mereka harus berani bilang tidak. Mungkin tidak mudah apalagi jika dikaitkan dengan relasi kuasa. Tapi yang jelas, masalah itu masih ada di Surabaya. Bahkan, ada yang bekerja dengan KPI (Key Performance Indicator) yang tidak jelas,” tuturnya.

Untuk menghindari bentuk eksploitasi, Jovi mengatakan, para pekerja harus memperhatikan ekosistem kerja layak di dalam lingkungan perusahaan tersebut.

Menurut Internasional Labour Organization, ada 10 unsur yang menjadi indikator ekosistem kerja layak. Yaitu, kesempatan kerja, pendapatan setara dan kerja produktif, jam kerja layak; menggabungkan kerja, keluarga dan pribadi; kerja yang dihapuskan, stabilitas dan keamanan, kesempatan setaraan perlakuan dalam pekerjaan, lingkungan aman, keamanan sosial, dialog sosial, serta perwakilan pekerja dan pengusaha.

“Dari situ sudah bisa dilihat, perusahaan saya eksploitatif atau tidak. Kalau eksploitatif, maka yang harus dilakukan adalah bernegosiasi. Lebih baik kita bernegosiasi bersama-sama (berserikat). Kalau negosiasi sendiri-sendiri itu mungkin bisa, tapi posisinya akan cukup rentan dan lemah di mata perusahaan,” tutur Jovi.

Baca Juga:

Paragoncorp Pecahkan Rekor MURI pada Pembukaan Novo Club Batch 21

Selaras dengan hal tersebut, dalam pengakuan Rangga, karyawan yang bekerja sebagai brand designer di salah satu perusahaan swasta di Surabaya mengaku sering melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan job desk-nya. Di mana masalah tersebut merupakan salah satu bentuk eksploitasi kerja.

“Saya sebagai brand designer. Tapi, saya juga bikin bisnis plan. Padahal, seharusnya itu menjadi job desk manager. Lalu pernah, CEO harus presentasi ke pameran kemasan dan UMKM sama pemda, tapi yang bikin materi PPT dan design saya juga, bahkan pernah disuruh hubungin vendor. Pola seperti itu sangat menghambat pekerjaan saya,” keluhnya.

Terpisah, dalam dunia kerja tidak hanya berputar pada masalah ekonomi bisnis saja. Di sisi lain, unsur relasi antara perusahaan, sesama pekerja, dan juga konsumen yang saling memengaruhi. Terutama bagi perusahaan atau pekerja yang bergerak di bidang layanan jasa.

Menurut salah satu peserta lainnya, Michael, seorang digital marketing di salah satu perusahaan di Surabaya mengatakan, edukasi kerja layak baiknya tidak hanya berlaku pada pekerja dan perusahaan saja, tapi juga kepada para konsumen. Jadi, hubungan timbal balik akan terjalin dengan baik dan kedua belah pihak dapat memperoleh capaian masing-masing.

“Sebab, masyarakat kita masih banyak yang belum menghargai kerja-kerja jasa. Misalnya seperti designer, sering dibilang ‘gini doang aja, pakai canva juga bisa’. Jadi bagaimana klien harus bisa menghargai proses kerja,” tutupnya.