Oleh : Roihan Rikza*
Tugujatim.id – Detak jam dinding kuno di ruang tamu semakin terdengar kencang. Tak tak tek tek. Lampu penerang ruang berukuran 5×2 meter itu telah saya matikan. Jalan raya di depan rumah, sejak awal bulan lalu tampak sepi.
Maklum, demi sebuah pernyataan untuk mencegah merebaknya Covid-19, pemerintah memberlakukan pemadaman penerang jalan raya sejak pukul 20.00 WIB.
Tanggapan warga pun beraneka ragam. Tak luput pula komentar di media sosial yang tak bisa dibendung. Sebab, zaman terus melaju dan akan mengalami perubahan.
Jika boleh saya sampaikan perenungan saya, tentu perubahan di era digital ini sangatlah berefek ada tingkah pola generasi yang dielu-elukan sebagai generasi milenial.
Hampir segala aktivitas kehidupan sehari-hari setiap orang yang memiliki gadget bisa jadi tontonan. Baik berupa foto, video singkat, maupun sekedar catatan ringan, melalui akun media sosial yang saling terhubung.
Mencoba menarik mundur pada kurun waktu satu dasawarsa sebelumnya. Sekira tahun 2011 atau mundur setahun sebelumnya, di tahun 2010.
Tidak semua aktivitas seseorang dapat diketahui oleh orang lain. Terkecuali luapan pemikiran melalui jejaring sosial semacam Mailing List, Friendster, dan barangkali Facebook yang memiliki tampilan sederhana dan tidak secanggih saat ini.
Kemudian mundur kembali pada 2 dekade silam. Tahun 2001 atau tahun 2000an. Pada tahun ini, televisi (TV) sudah merata satu rumah satu TV. Informasi di luar lingkungan yang tidak dapat dijangkau oleh pandangan mata dapat diamati di layar tabung ini.
Bagaimana keseruan penyambutan malam tahun baru tahun 2000, pertumpahan darah oleh karena perseteruan antar suku, kelompok, atau golongan, sinetron berjilid seperti Tersanjung, film serial Jin dan Jun, dan juga pidato-pidato presiden bisa langsung ditangkap dengan duduk di depan layar itu.
Ada kepuasan tersendiri karena kecenderungan manusia yang memiliki dua mata dan dua telinga untuk melihat dan mendengar, lalu disampai-ceritakan sebagai bahan obrolan.
Tentulah aktivitas seseorang pada tahun-tahun itu, tidak mudah diketahui oleh orang lain seperti era gadget saat ini. Alih-alih mengetahui wajah atau kondisi terbaru dua manusia yang saling berjauhan, bisa mendapatkan kabar melalui telepon tetangga adalah kegembiraan yang luar biasa.
Memang untuk melepas rindu, seseorang yang memiliki kerabat teramat jauh, haruslah menyewa telepon ke wartel. Hanya berbincang sekian menit saja tarifnya cukup menguras isi dompet.
Tapi, kini zaman telah berubah. Berubah cepat sekali. Percepatan informasi tak perlu lagi menunggu pergantian hari, siang di Arab malam di Jawa.
Hanya beberapa detik dapat mengetahui kabar saudara yang jauh di perantauan. Ini semua cukup menggunakan gadget dengan aplikasi tatap muka yang kian mudah. Lalu nikmat Tuhan yang mana lagi yang akan didustakan?
Memanfaatkan Gadget
TV di tahun 2000an, satu rumah satu TV atau lebih merata ketimbang tahun 90-an dan dekade sebelumnya. Kini gadget di tahun 2021 bisa menjadi barang yang biasa dimiliki seseorang. Bahkan, pada kapasitas tertentu, seseorang bisa memiliki lebih dari satu gadget.
Dari kepemilikan dan menjadi kebutuhan seseorang inilah, tidak hanya aktivitas saja yang bisa dibagikan melampaui batas-batas daerah.
Tetapi juga pertukaran informasi tidak lagi memiliki dinding sebagaimana halnya Wartel di tahun 2000an.
Mungkin sekali karena percepatan ini, seseorang bisa memiliki pengetahuan dan informasi yang juga cepat. Karena dengan gadget semuanya jadi mudah.
Namun demikian gadget harus digunakan dengan bijak. Terlebih, ditengah pertarungan wacana, baik itu kaplingan tanah antara kubu A dan kubu B, atau kepentingan ideologis kelompak A dan kelompok Z.
Kita mesti perpedoman pada tokoh agama atau tokoh masyarakat setempat atau seseorang yang memang memiliki kapasitas dibidangnya.
Yang demikian itu, agar tidak menjadi benalu atas kepentingan atau kebijakan umum yang semestinya tersampaikan dengan baik dan benar.
Atau lebih baik lagi, tetap menebar kebaikan yang biasa dan wajar seperti pengajian 1 menit, musik klasik atau tradisi lokal, ungkapan kata-kata bijak, foto kesatria atau tokoh motivator tertentu, yang kini mudah ditemukan berseliweran di berbagai macam media sosial.
Sudah bisa ditebak, bahwa pertempuran di zaman seperti ini, dan dalam kondisi yang tak nyaman ini, senjata yang paling ampuh adalah jempol-jempol yang bijak. Tengadah tangan memohon kebaikan pada Yang Welas lagi Asih.
Dan, akhirnya, kutipan kata bijak dari bahasa Belanda; in het heden ligt het verleden, in het nu wat komen zal. Bahwa keadaan hari ini adalah akibat perkembangan masa lalu, dan apa yang kita lakukan sekarang akan menentukan masa depan. Wallahu a’lam.
*pegiat kebudayaan Kabupaten Malang