MALANG, Tugujatim.id – Penanganan tragedi Kanjuruhan yang terkesan berbelit membuat gelombang mosi tidak percaya mulai bermunculan. Baik di media sosial maupun lewat aksi simpatik berupa tempelan poster, spanduk, hingga gantung syal di sudut-sudut jalan.
Baru-baru ini, mulai tampak ekspresi suporter untuk memutuskan pensiun ke tribun di media sosial. Hal ini tampak lewat tagar “Sejenak Menepi” hingga “Gantung Syal”.
Tak hanya itu, sudah mulai banyak komentar-komentar sinis tentang penegakan hukum peristiwa kelam di Stadion Kanjuruhan, 1 Oktober 2022 itu.
Selain di media sosial, suporter juga melakukan aksi simpatik dengan mengikat syal kebanggaan mereka di jembatan penyeberangan di wilayah Kecamatan Blimbing, Kota Malang, Jawa Timur. Aksi ini bahkan sudah ada sejak Minggu (2/10/2022). Sehari setelah kejadian.
Usut punya usut, aksi gantung syal di jembatan dekat Masjid Sabilillah itu punya makna mendalam. Aksi simpatik itu dilakukan oleh komunitas suporter Blimbingham sebagai ungkapan duka atas kematian kawan-kawan Aremania dalam tragedi tersebut.
Selain ungkapan duka, aksi tersebut juga dinyatakan sebagai puncak kekecewaan suporter terhadap penegakan hukum yang terkesan bertele-tele. Baik dari tim TGIPF, PSSI, kepolisian, manajemen klub Arema FC, dan juga termasuk gerakan suporter.
Butuh Keadilan

Perwakilan Blimbingham, Sindu tidak ingin berpendapat terlalu jauh. Hanya saja, hingga kini, pihaknya menilai tidak ada keseriusan dari berbagai pihak, terutama penegak hukum untuk menuntaskan kasus ini.
Sebagai contoh, hingga saat ini, pernyataan resmi atau pengakuan para tersangka pada publik terkait motif dirinya menembakkan gas air mata ke arah tribun tidak ada sama sekali. Berbanding terbalik dengan institusi TNI yang sudah mengakui kesalahan anak buahnya pasca kejadian.
Di sisi lain, sambung dia, petinggi federasi juga seolah menganggap kejadian yang hingga saat ini sudah merenggut 135 nyawa ini adalah hal sepele. Bahkan sampai hari ini, tidak terlihat respons yang memuaskan dari petinggi federasi.
”Nonton bola saja bisa ada korban meninggal segitu banyak. Gak masuk akal. Kalau kayak gini udah gak usah Arema-aremaan. Kami memutuskan untuk gantung syal sampai kasus ini diusut tuntas,” tegas Sindu, pada Selasa (25/10/2022).
Begitu juga respon dari manajemen klub yang juga menurutnya jauh dari kata puas. “Sampai hari ini kami belum melihat sikap konkrit dari klub. Kalau berkunjung ke rumah-rumah korban, santunan dana itukan ya kewajiban. Kami gak butuh berita proses-proses saja. Kita butuh hasil. Klub harus aktif ikut usut tuntas,” tegasnya.
Di situasi seperti ini, bahkan federasi seolah masih bersikukuh agar kompetisi tetap digelar kembali. Menurut dia, itu sudah di luar nalar, di mana 135 Aremania meninggal tanpa alasan yang jelas hingga kini ”Ini soal nyawa. Kawan-kawan kami yang meninggal butuh kejelasan, butuh keadilan. Untuk kali ini, kami menghormati mereka,” kata Sindu.
”Kalau terus-terusan begini, ya sudah. Keputusan kami sudah bulat, untuk gantung syal sampai semua ini diusut tuntas, seadil-adilnya. Kawan-kawan kami yang meninggal butuh keadilan,” tegasnya.
Keputusan yang sama juga disampaikan salah satu Aremanita asal Singosari, Rizka Farly (23). Bagi dia, dunia sepak bola yang digemarinya sejak duduk di bangku SMP itu, sudah tak lagi aman, peristiwa 1 Oktober itu tak seharusnya terjadi.
Rizka menuturkan sudah terlanjur mencintai Arema karena suasana tribun yang diciptakan aman sejak dia mengenal Arema. Bahkan, sejak dia menikah, dirinya kerap mengajak anaknya yang kini sudah berusia empat tahun menonton Arema FC.
”Tapi semenjak kejadian kemarin saya jadi trauma. Saya putuskan untuk gantung syal, mungkin untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Kemarin itu saya sebenarnya ngotot untuk nonton. Untung aja saya gak diizinin sama suami,” ucapnya.
Sejenak Menepi
Pendapat serupa datang dari sejumlah kelompok suporter lain. Seperti lewat tagar “Sejenak Menepi”. ”Belum adanya perbaikan di tubuh PSSI, dan para penembak gas air mata, yang sampai hari ini masih berbahagia dengan keluarga mereka setelah membantai ratusan nyawa,” begitu pernyataan dari postingan @arema_bluearmy.
Lebih lanjut, dari pernyataan tersebut, mereka memutuskan untuk tidak mendukung Arema FC dalam kegiatan apapun, selain upaya penuntasan hukum dan keadilan bagi para suporter benar-benar ditegakkan.
”Mari menepi, sampai mereka tahu apa itu arti dari kemanusiaan,” timpal warganet, Iqbal Pamungkas, dalam postingan tersebut.
Mahasiswa UMM Jadi Korban Jiwa ke-135
Korban meninggal akibat insiden penembakan gas air mata di stadion itu masih terus bertambah. Terakhir, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Farza Dwi Kurniawan menjadi korban meninggal ke 135. Ia meninggal saat dalam perawatan di RSSA Malang, pada Minggu (23/10/2022).
Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) telah melakukan pendataan dan penanganan medis korban tragedi Kanjuruhan di sejumlah rumah sakit di Kabupaten dan Kota Malang.
Sebagai rumah sakit rujukan utama, RSSA Malang telah menerima 88 orang pasien terdiri dari 20 orang jenazah, 19 orang korban luka berat, dan 49 orang korban luka ringan/sedang. Dari enam orang korban yang masih dirawat, empat telah meninggal dunia dan tersisa dua orang yang masih koma.
Penjelasan Dirut RSSA Malang, dr Kohar, dalam laporan TGIPF, bahwa umumnya penonton dalam tragedi Kanjuruhan mengalami hipoksia atau kekurangan oksigen. Hal ini disebabkan oleh masifnya asap gas air mata dihirup oleh korban.
Hak Ingkar
Namun dari hasil rekonstruksi yang digelar di Lapangan Mapolda Jatim, Surabaya, Jawa Timur, mendapati para tersangka tidak mengakui menembakkan gas air mata ke arah tribun. Merunut pernyataan dari Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Dedi Prasetya menuturkan bahwa keterangan itu sah dalam materi penyidikan.
“Secara materi penyidikan, itu penyidik yang akan menyampaikan. Kalau misal tersangka mau menyebutkan seperti itu (tidak menembak ke arah tribun), itu haknya dia, tersangka punya hak ingkar,” jelasnya.
Dedi mengungkapkan bahwa penyidik memiliki bukti yang bisa dipertanggungjawabkan di kejaksaan hingga pengadilan saat proses persidangan nantinya. “Penyidik memiliki keyakinan. Dengan seluruh kesaksian kemudian alat bukti yang dimiliki penyidik, nanti penyidik akan dipertanggungjawabkan baik kejaksaan maupun dalam persidangan,” pungkasnya.