Tugujatim.id – 1 Mei atau May Day yang lebih sering disebut dengan peringatan Hari Buruh di Indonesia sudah ditetapkan sebagai Hari Libur Nasional. Hari Buruh menjadi momentum untuk mengemukakan aspirasi, tuntutan kesejahteraan, dan tak jarang para buruh mengkritisi kebijakan pemerintah.
Sejarah panjang Hari Buruh juga tak lepas dari peristiwa kerusuhan Haymarket di Chicago, Amerika Serikat, pada 1886 silam. 1 Mei 1886, ratusan ribu buruh di Amerika Serikat menutut dominasi kekuasaan kaum borjuis, kelompok pemilik modal. 3 Mei 1886, aksi tersebut berubah menjadi peristiwa berdarah karena ribuan polisi menembaki demonstran.
Mengutip dari Britanica, 1 Mei ditetapkan undang-undang sebagai Hari Buruh oleh Presiden Amerika Serikat, Grover Cleveland, pada 1891.
Setiap tahun, Hari Buruh selalu dirayakan di Amerika Serikat dan menyebar ke Eropa juga ke Indonesia. Awalnya, perayaan Hari Buruh di Indonesia dilakukan oleh para buruh di depan Istana Merdeka, Jakarta, dengan unjuk rasa. Presiden RI, Soekarno selalu hadir.
Seiring berjalannya waktu, perayaan Hari Buruh dihentikan saat kepemimpinan Presiden RI, Soeharto, karena dinilai identik dengan paham komunis. Saat kabinet Dwikora, pelarangan ini dibarengi dengan perubahan istilah Kementerian Perburuan menjadi Departemen Tenaga Kerja.
Mengutip dari laman resminya, tahun ini, International Labour Organization (ILO) mengusung Hari Buruh Internasional dengan tema “World Day for Safety and Health at Work” atau Hari Keselamatan dan Kesehatan Kerja Internasional.
Direktur Jendral ILO, Gilbert F Houngbo menyerukan kepada koalisi global untuk membentuk keadilan sosial; kebijakan ekonomi, sosial, dan lingkungan demi terciptanya masa depan yang lebih stabil dan adil.
“Setelah tiga tahun krisis Covid-19, diikuti oleh inflasi, konflik, dan guncangan pasokan pangan serta bahan bakar, kami sangat membutuhkan ini. Namun janji pembaharuan yang dibuat selama pandemi tentang membangun kembali yang lebih baik sejauh ini belum tersampaikan untuk sebagian besar pekerja di seluruh dunia,” katanya, pada Minggu (30/4/2023) malam.
Menurutnya, saat ini secara global upah riil telah mengalami penurunan, kemiskinan meningkat, ketimpangan semakin mengakar. Belum lagi banyaknya perusahaan dan usaha mikro dan menengah berhenti beroperasi karena tidak dapat mengatasi efek kumulatif dari pandemi Covid-19.
“Masyarakat merasa pengorbanan yang mereka lakukan untuk melewati Covid-19 tidak diakui dan suara mereka tidak terdengar dengan jelas. Hal ini dikombinasikan dengan kurangnya peluang yang dirasakan dan kurang kepercayaan,” ucapnya.
Oleh sebab itu, ia menyuarakan para pekerja yang menginginkan kehidupan baru lebih stabil dan adil dengan menguatkan prinsip keadilan sosial.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, diperlukan komitmen, kerja sama, dan solidaritas internasional dengan meningkatkan koherensi kebijakan yang lebih besar, khususnya dalam sistem multilateral.
“Kita memiliki kesempatan untuk membentuk kembali dunia tempat kita tinggal secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Mari kita ambil kesempatan ini dengan bergerak maju membangun masyarakat yang adil dan tanggal untuk menopang perdamaian dan keadilan sosial,” pungkas Gilbert.