PASURUAN, Tugujatim.id – Suara batang bambu yang diraut mesin bersahut-sahutan di rumah-rumah warga di Desa Oro-Oro Puleh, Kecamatan Kejayan, Kabupaten Pasuruan, tepatnya di Kampung Tusuk Sate. Dari sebuah desa terpencil yang berada sejauh kurang lebih 18 km dari pusat Kota Pasuruan inilah batang-batang bambu tersebut diubah menjadi tusuk sate.
Tak salah jika Desa Oro-Oro Puleh, Kecamatan Kejayan, ini mendapat julukan sebagai Kampung Tusuk Sate. Sebab, mayoritas warga di desa ini adalah produsen tusuk sate.
“Sudah ada beberapa RT yang aktif membuat tusuk sate, jumlahnya mungkin sekitar 40 lebih keluarga,” ujar Kasun Kalitengah, Desa Oro-Oro Pule, Zainul, 45, Kamis (07/09/2022).

Zainul menjelaskan, mayoritas warga desanya dulunya bekerja sebagai buruh tani. Mulanya hanya 1-2 warga saja yang memproduksi tusuk sate. Lambat laun karena keuntungan dari jualan tusuk sate lebih besar dari gaji buruh tani, banyak warga yang mulai beralih pekerjaan.
Mayoritas para warga juga mengajak serta anak dan sanak saudaranya untuk ikut membuat tusuk sate.
“Kadang bapaknya yang cari bambu, anaknya yang motong bambu, dan ibunya yang bagian meraut,” ungkapnya.
Berjuang Bangkit dari Pandemi
Munculnya Kampung Tusuk Sate di Desa Oro-Oro Puleh, Kecamatan Kejayan, Kabupaten Pasuruan, ini tercipta dari semangat warga desa untuk bangkit dari pandemi. Sebab, pandemi Covid-19 yang melanda sejak 2020 berdampak besar pada perekonomian warga.
Warga desa yang mayoritas bekerja sebagai buruh tani ini pun sempat merasakan keterpurukan. Sugiono, 60, salah satu warga, mengungkapkan, banyak buruh tani yang tidak diperkerjakan karena pemilik sawah tidak mampu membayar akibat pandemi. Sementara untuk mencari pekerjaaan lain, Sugiono terkendala usia dan fisiknya yang sudah mulai renta.
“Pas wabah pandemi, buruh gak dipekerjakan. Sempat kerja serabutan apa saja, tapi penghasilan tambah minim,” ujar Sugiono.
Di tengah impitan ekonomi yang makin sulit, Sugiono tidak lantas berpangku tangan. Berbekal sisa uang tabungannya, dia memberanikan diri untuk membeli mesin pemotong bambu untuk membuat tusuk sate.
“Beli mesinnya waktu itu sekitar Rp4 jutaan. Mikirnya waktu itu biar bisa kerja dari rumah bareng keluarga,” ungkapnya.
Pilihan Sugiono untuk menjadi perajin tusuk sate rupanya membawa berkah. Menurut dia, selain prosesnya cukup mudah, penghasilan yang dia dapatkan dari berjualan tusuk sate pun lebih banyak dibandingkan ketika masih menjadi buruh tani.
Dalam sebulan, dia bisa mengantongi uang hasil jualan tusuk sate antara Rp2,5 juta-Rp3 juta.
“Kalau jadi buruh tani kan nggak tentu penghasilannya, baru gajian kalau panen. Kalau sekarang dari tusuk sate pendapatan bulanannya jelas,” imbuhnya.
Bertumbuh Jadi Sentra Industri Tusuk Sate di Jatim
Pelan tapi pasti keberadaan Kampung Tusuk Sate di Desa Oro-Oro Puleh, Kecamatan Kejayan, Kabupaten Pasuruan, mulai berkembang menjadi sentra industri. Meski baru terbentuk selama setahun terakhir, tapi hasil produksi tusuk sate warga Desa Oro-Oro Puleh sudah merambah pasar di wilayah Jatim.
Menurut Sujai, 45, Kepala Desa Oro-Oro Puleh, warga desanya bisa menghasilkan hingga sekitar 3,2 juta lebih tusuk sate per bulan.
“Satu bulan rata-rata, satu keluarga bisa memproduksi 10 kilo. Satu kilonya sekitar 8.000 tusuk sate. Kalau 40 keluarga, ya bisa jutaan tusuk sate,” ujar Sujai.
Menurut dia, hasil produksi tusuk sate dari warga akan dijual ke pengepul terlebih dulu. Baru nantinya pengepul akan mendistribusikan tusuk sate ke sejumlah wilayah.

Sujai mengaku bangga karena hasil produksi tusuk sate warganya kini tidak hanya laku di wilayah Pasuruan saja. Tapi, juga didistribusikan ke sejumlah kota dan kabupaten di Jatim.
“Selain di Pasuruan, tusuk sate warga ini dijual oleh beberapa pengepul sampai ke wilayah Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Probolinggo, Lumajang, dan beberapa daerah lainnya,” jelasnya.
Sujai berharap ke depannya Desa Oro-Oro Pule tidak hanya menjadi Kampung Tusuk Sate. Tapi, bisa lebih berkembang menjadi salah satu sentra industri tusuk sate di Jatim, khususnya Kabupaten Pasuruan.
Karena itu, dia berharap pemerintah setempat bisa memberikan dukungan terhadap para produsen tusuk sate di desanya.
“Harapannya, semoga Pemkab Pasuruan bisa memberi bantuan, baik berupa dana atau bimbingan, supaya warga Kampung Tusuk Sate bisnisnya bisa semakin maju,” ujarnya.
Catatan ini adalah bagian dari program Jelajah Jawa-Bali tentang Inspirasi dari Kelompok Kecil yang Memberi Arti oleh Tugu Media Group x PT Paragon Technology and Innovation. Program ini didukung oleh Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP), Pondok Inspirasi, Genara Art, Rumah Wijaya, dan pemimpin.id.