PASURUAN, Tugujatim.id – Jatuhnya dua pesawat Super Tucano di Kabupaten Pasuruan menyimpan kisah sisi lain dari saksi mata warga sekitar. Warga sekitar menyebut sebelum insiden jatuhnya pesawat latih TNI-AU tersebut, diduga belum pernah ada kapal terbang melintas di dua area perbukitan ini.
Sulaksono, warga sekitar, menuturkan, selama ini dua lokasi jatuhnya pesawat TNI-AU ini dipercaya sebagai tempat sakral bagi suku Tengger. Dari cerita yang dia dapat dari penduduk lokal, suku Tengger meyakini untuk memasuki wilayah bukit Kundi dan perbukitan di Desa Keduwung tidaklah sembarangan. Bahkan, warga suku ini perlu ritual doa terlebih dahulu.
Menurut dia, ada semacam kepercayaan warga lokal bahwa lokasi tersebut tidak boleh dilintasi oleh kapal terbang.
“Kalau kepercayaannya suku Tengger di sini, gak boleh ada yang terbang di atas dua bukit itu,” ujar Sulaksono dalam perbincangan lewat telepon, Selasa (21/11/2023).
Sulaksono sendiri merupakan warga asli Desa Wonorejo, Kecamatan Lumbang, Kabupaten Pasuruan. Dia juga telah lama tinggal di desa yang lokasinya tidak terlalu jauh dari TKP jatuhnya pesawat bernomor ekor sayap TT 3111 di Bukit Kundi.
Sepengetahuan pria yang akrab disapa Pak Sulak ini, baru kali ini dia mendapati ada pesawat yang terbang rendah di lokasi yang dianggap sakral oleh suku Tengger tersebut.
“Setahu saya, selama ini belum pernah ada pesawat yang terbang rendah di atas lokasi itu, ya baru Jumat kemarin itu dan langsung dengar kabar ada yang jatuh,” ungkapnya.
Di sisi lain, Pak Sulak juga punya pandangan yang cukup logis terkait insiden jatuhnya dua pesawat latih TNI-AU tersebut. Dia menduga pesawat tersebut memang terbang cukup rendah di hari insiden yang menewaskan empat perwira TNI-AU tersebut.
Pendapat ini dia simpulkan dari pengamatannya terhadap dua lokasi jatuhnya pesawat. Di mana di TKP Bukit Kundi, posisi bagian depan pesawat terlihat menancap di tengah tanah lahan bukit yang dijadikan lahan pertanian warga.
Sementara di TKP tebing perbukitan di Desa Wonorejo, bangkai pesawat latih ditemukan tepat di pojok bawah tebing bukit.
“Kalau dilihat lokasinya, dua pesawat ini seperti terbang tapi rendah, bisa jadi di bawah dari pucuk atas bukit. Waktu kejadian memang kabut juga, mungkin pandangannya jadi terhalang,” jelasnya.
Dia dan sejumlah warga sekitar tetap bersiaga apabila diperlukan membantu tim gabungan TNI-AU dalam proses evakuasi bangkai kedua pesawat. Bahkan, menurut dia, sejumlah warga rela meninggalkan pekerjaanya selama berhari-hari.
“Kalau pinginnya kami cepat selesai evakuasinya. Kami juga kasihan Mas, nggak tega. Malah ada yang bela-belain rela nggak kerja selama dua hari,” ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, jatuhnya dua pesawat Super Tucano menurut kesaksian warga terjadi pada Kamis (16/11/2023), sekitar pukul 11.00 WIB. Kesaksian warga sekitar sempat melihat empat pesawat terbang di langit, sebelum akhirnya diduga ada ledakan keras yang terdengar hingga belasan kilometer.
Dua pesawat jenis Super Tucano ini diduga jatuh di dua lokasi berbeda. Lokasi pertama tempat jatuhnya pesawat dengan nomor ekor TT 3013 berada di bawah tebing kawasan perhutani di Desa Keduwung, Kecamatan Puspo.
Adapun lokasi kedua jatuhnya pesawat dengan nomor ekor TT 3111 berada di bukit Kundi. Tepatnya di perbatasan antara Kecamatan Lumbang, Kabupaten Probolinggo; dengan Desa Wonorejo, Kecamatan Lumbang, Kabupaten Pasuruan.
Insiden pesawat latih TNI-AU yang jatuh ini memakan korban jiwa empat perwira TNI-AU yang berdinas di Lanud Abdulrachman Saleh. Yakni Letkol Pnb Sandhra Gunawan, Kolonel Adm Widiono, Mayor Pnb Yuda A. Seta, dan Kolonel Pnb Subhan.
Pada Jumat (17/11/2023), Tim Investigasi TNI-AU juga telah menemukan Flight Data Recorder (FDR) dari dua pesawat Super Tucano yang jatuh di Kabupaten Pasuruan. FDR dua pesawat latih tersebut kini telah dibawa ke Lanud Abdulrachman Saleh, Kabupaten Malang, untuk dilakukan pembacaan data penerbangan guna mengungkap penyebab pasti jatuhnya pesawat.
Hingga saat ini, tim gabungan yang dikoordinasi TNI-AU masih terus melakukan upaya evakuasi bangkai dari dua pesawat ini.
Writer: Laoh Mahfud
Editor: Dwi Lindawati