SURABAYA, Tugujatim.id – Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri baru saja membuat progam baru yang dinamakan ‘badge awards’, pemberian lencana untuk masyarakat yang berpartisipasi melaporkan dugaan tindak pidana di media sosial. Saiful Mahdi, anggota Paguyuban Korban UU-ITE (PAKU-ITE) menanggapi bahwa pelibatan masyarakat pada tugas kepolisian justru dapat memunculkan masalah baru.
“Memang pelibatan warga untuk tugas-tugas ‘polisioning’ (kepolisian, red) bisa bermasalah walaupun tujuannya baik. Karena masyarakat masih dalam polarisasi luar biasa karena masalah politik elektoral, isu-isu agama, etnisitas. Juga semacam gap sosial-ekonomi yang makin memburuk termasuk karena Covid-19,” terang Saiful yang juga Dosen FMIPA Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, Rabu (24/03/2021) pagi.
UU-ITE masih berpotensi untuk memunculkan ruang multitafsir di kalangan aparat penegak hukum sendiri, jelas Saiful, apalagi bila aparat menambah keterlibatan pada masyarakat. Hal itu menurutnya ‘badge awards’ dapat menambah korban kriminalisasi akibat UU ITE.
“Multitafsir UU ITE di kalangan aparat penegak hukum (APH, red) saja selama ini memakan banyak korban. Masyarakat merasa takut terkena UU ITE. Karena selama ini korban UU-ITE kebanyakan memang warga biasa, dikriminalisasi dan dibungkam para penguasa dan pengusaha,” jelasnya.
“Kalau APH saja bisa beda tafsir, kita patut khawatir warga biasa lebih banyak lagi yang salah kaprah dalam memahaminya. Akibatnya memang bisa sangat gawat. Konflik horizontal yang selama ini sudah banyak terjadi karena UU ITE akan makin meluas dan mendalam,” imbuhnya.
Selain itu, South Asia Freedom of Expresion Network (SAFENet), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers punya data dan hasil kajian yang sangat lengkap dan sudah dilakukan bertahun-tahun. Saiful menegaskan kesaksian korban dalam PAKU-ITE sudah jelas menunjukkan adanya ketidakadilan, menurutnya revisi UU ITE begitu niscaya.
“Program ‘badge awards’ sepertinya telah menambah kompleksitas persoalan yang ada. Yang paling mengkhawatirkan, memang adanya pembatasan dan penyempitan ruang patisipasi warga serta ruang demokrasi. Kajian Lokataru (2020, red) jelas menunjukkan sudah terjadinya penyempitan (‘shrinking civic space’, red),” tuturnya.
Saiful mengutip kajian Komnas HAM yang menunjukkan warga masyarakat semakin takut mengekspresikan pandangan atau pendapatnya. Data itu diambil dari 34 Provinsi, interval Juli-Agustus 2020 dengan jumlah responden 1.200 orang. Sebanyak 29,0 persen responden takut mengkritik pemerintah, sedangkan 36,2 persen responden gelisah menyampaikan kritik lewat media sosial.
Belum lagi, beber Saiful, kalau melihat laporan-laporan ilmiah dari dalam dan luar negeri tentang regresi demokrasi di Indonesia. Dalam catatan Indeks Demokrasi 2020, Indonesia ada di peringkat ke-64 dari hasil yang dirilis ‘economist intelligence unit’ (EIU), dari skor 6,48 tahun 2019 menjadi 6,30 tahun 2020.
“Sebenarnya dunia digital sendiri punya regulasi-diri (self regulation, red) yang makin baik. Facebook itu punya aturan yang jelas terhadap postingan yang dianggap mengganggu hingga berbahaya,” jelasnya.
“Kita bisa melaporkan keberatan kita terhadap postingan atau konten apapun kepada Facebook, Twitter, Instagram, dan aplikasi lainnya. Jadi kenapa pemerintah harus membuat aturan lagi? Bahkan dengan membuat kemungkinan terjadinya konflik horizontal?” tutupnya. (Rangga Aji/gg)