SURABAYA, Tugujatim.id – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya mencatat jika kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak masih saja terjadi. Tercatat, sepanjang tahun 2020 silam, terdapat 551 penyintas atau korban kekerasan dari 284 kasus yang ada. Di mana pemerkosaan merupakan yang tertinggi dengan total 51 kasus.
LBH Surabaya menyebut jika kekerasan terhadap anak maupun perempuan tersebut diklasifisikasi menjadi beberapa. Seperti pencabulan, pemerkosaan, perdagangan manusia, hingga kekerasan fisik maupun psikis dari aparat penegak hukum.
“Tertinggi itu, kalau hasil ‘tracking’, pemerkosaan sebanyak 51 kasus, pembunuhan sejumlah 36 kasus, TPPO (tindak pidana perdagangan orang, red) 16 orang, pencabulan 14 korban/penyintas,” beber Pengacara Publik LBH Surabaya, Yaritza Mutiara Ningtyas pada Tugu Jatim, Rabu (10/3/2021) siang.
Pelaku Terbanyak Keluarga Sendiri dan Kekasih

Yaritza menyebut jika pelaku kasus kekerasan ini merupakan lingkungan terdepat, seperti dari keluarga ataupun kekasih. Pihak LBH Surabaya membagi hal ini menjadi klaster-klaster, mulai dari lingkup terdekat hingga orang tak dikenal.
“Pelaku terbanyak, sektor terbanyak kalau sudah menikah, itu suami. Kedua, pacar atau kekasihnya (31 kasus, red). Ketiga, orang tidak dikenal (32 kasus, red) atau mucikari (8 kasus, red). Dia kenal di medsos, tinder, dll. Baru kenal dan mencoba merayu ingin nikah, dan lain-lain,” bebernya.
Dalam kronologi yang sering terjadi lapangan. Muncul dari sebuah perselingkuhan, lalu diikuti dengan cekcok dan berakhir perlakuan kekerasan. Yaritza juga menyampaikan pada tahun 2021 sendiri, sudah ada 10 kasus yang direkomendasikan oleh Komnas Perempuan.
“Ada juga yang KDRT (kekerasan dalam rumah tangga, red), berawal dari perselingkuhan terus cekcok dan kekerasan, ada juga bentuk penelantaran. Kalau di LBH sendiri yang kita dampingi ada 17 kasus selama tahun 2020. Lalu, tahun 2021 barusan pelaporan ada 10 orang dari rekomendasi Komnas Perempuan,” cetusnya.
Dianggap Aib dan Tabu, Korban Kerap Cabut Lapor dari Proses Hukum
Pengacara LBH Surabaya, Yaritza Mutiara Ningtyas menyampaikan, dari beragam kasus pelecehan seksual yang terjadi, sebagian besar korban/penyintas berpola mencabut laporan mengenai kasusnya, karena menganggap hal itu sebagai aib, tidak ingin dipublikasikan pada khalayak.
“Banyak, tapi saat setelah dilaporkan, korban/penyintas mundur. Ada juga yang orang tuanya belum tahu, kami bantu untuk soal surat menyurat. Tiba-tiba juga gitu, di pertengahan jalan juga ‘menyerah’. Itu dianggap aib dia, kalau sudah ‘blow-up’ nanti banyak orang tahu dan masa depan dia terganggu,” imbuh Yaritza.
“Tidak semua korban atau penyintas pelecehan seksual bisa ‘speak up’. Sebenarnya ada, soalnya kita data pakai sistem ‘monitoring’ media cetak, wilayahnya Jatim. Sepanjang tahun 2020, mencatat korban/penyintas kekerasan terhadap perempuan dan anak sejumlah 551 korban/penyintas dari 284 kasus,” tuturnya.
Proses Advokasi Kasus Kekerasan pada Perempuan dan Anak di LBH Surabaya
Namun, menyikapi hal itu, LBH juga perlu mengamati bagaimana kesiapan dari si pelapor untuk advokasi. Karena hal itu, jelas Yaritza, berkaitan dengan kelancaran advokasi kasus ke depannya. Paling banyak kasus terjadi di wilayah sektor Madura dan Surabaya Barat.
“Tidak ujug-ujug pelaporan, dilihat dulu apa dia siap saat melaporkan. Sebagian terdiri dari santri ada 5 kasus, anak SMA itu ada 2 orang, mahasiswi ada 6 kasus. Lalu yang paling kecil di bawah umur itu sebanyak 4 kasus. Sektor wilayah di Madura (kasus saudara, red) dan Surabaya Barat (kasus tetangga, red),” ungkapnya.
Mengenai salah satu kasus pelecehan seksual yang berkaitan dengan saudara sendiri, Yaritza memaparkan kronologi yang pernah terjadi di lapangan. Namun, karena masih mempunyai ikatan saudara, pihak keluarga tidak sampai melaporkan ke LBH.
“Jadi, beranggapan saudara sering komunikasi, sedang orang tuanya sudah pisah. Sehingga pengawasan begitu rendah, pelaku ditaruh di pondok. Tapi, ibunya tidak mau karena masih ada hubungan saudara,” bebernya.
“Lalu, dijanjikan sama orang tua pelaku itu nanti akan dijodohkan kalau sudah besar. Di sana masih kental sama pernikahan dini begitu. Kalau yang mahasiswa itu soal penyebaran foto,” imbuhnya.
Perlu adanya pengamatan dan memastikan sebelum menerima mengatasi setiap kasus pelecehan seksual. Karena, jelas Yaritza, sebagian klien sempat berbohong mengenai cerita kronologinya.
“Di LBH Surabaya kalau isu soal perempuan, kita lihat kasusnya apakah klien dapat mengiyakan, karena ada sebagian informan yang bohong sama kasusnya, kita ‘cross check’ dulu kasusnya. Kalau sudah aman, baru kita lanjutkan,” paparnya.
Mengenai pembiayaan dalam advokasi kasus pelecehan seksual. Untuk keterlibatan psikolog dalam proses pemulihan, LBH Surabaya sudah mempunyai kerja sama.
“Kita ada biaya transport dan pengacara, kalau dari LBH sendiri tidak ada biaya. Kalau butuh psikolog, LBH Surabaya tidak ada, tapi kami kerja sama dengan beberapa psikolog. Mereka yang bagian pemulihan, cukup efektif di tahun 2017,” sebutnya.
Yaritza menambahkan.
“Soal pendampingan seberapa lama, tergantung dari kasusnya. Pada realitanya, kasus pelecehan seksual dari wanita dewasa, misalnya mahasiswa, itu prosesnya lama sekali. Mungkin takutnya nanti dianggapnya suka sama suka, tanpa ada relasi kuasa di dalamnya,” pungkasnya. (Rangga Aji/gg)