Oleh: Hendri Fujiono*
Tugujatim.id – Jumat sore itu anak saya cemberut. Padahal seperti biasa ketika cuaca cerah, kami tidak langsung pulang ke rumah sepulang sekolah. Kami bermain di nature playground sekolah selama lebih dari satu jam sekaligus berbincang santai dengan sesama orang tua.
Ternyata anak saya ini kebelet ingin ke toilet dan merasa terlalu lama menunggu saya yang sedang berbincang.
Ketika saya tanyakan kenapa dia tidak bilang ingin ke toilet. Dia menjawab “Guru selalu bilang – kalau ada orang dewasa sedang berbincang, tunggu sampai mereka selesai”.
Wah, anak saya ternyata dididik sopan santun juga. Lalu, saya katakan – itu tidak berlaku di saat emergency. Bayangkan deh kalau ada kebakaran, ga mungkin kan menunggu orang dewasa selesai berbincang baru kita menyampaikan kalau ada kebakaran.
Anak saya akhirnya berpikir lebih dalam dan tidak terlalu cemberut lagi.
Hari itu dia belajar untuk peka memahami instruksi dalam berbagai konteks dan relevansi.
Sepertinya memahami konteks dan relevansi adalah sederhana, tapi ternyata luput dari perhatian dan bisa menjadi masalah besar. Ini lah yang menjadi bagian dari diskusi mingguan bersama Salman Subakat, seorang sahabat yang juga CEO PT Paragon Technology and Innovation
Bincang Sabtu pagi minggu ini diawali dengan berita yang kami baca tentang sebuah perusahaan mainan yang dikecam berbanyak kalangan karena memproduksi koleksi boneka untuk event olahraga terbesar yang baru saja berlangsung di Tokyo. Koleksi yang diharapkan menampilkan wajah inklusifitas.
Terus kenapa dikecam? Ternyata koleksinya tidak menampilkan boneka yang merepresentasikan ras Asia. Padahal sudah jelas event nya dilaksanakan di salah satu kota terbesar di Asia.
Kenapa bisa terjadi? Organisasi sebesar itu tidak mungkin tidak memiliki proses mumpuni. Menjadikan kualitas sebagai panglima seringkali dikaitkan dengan proses yang jumawa. Kualitas dijaga secara berjenjang dalam berbagai bentuk process-hierarchy.
Tapi kenapa ini masih terjadi?
Hipotesis kami pagi ini terkait dengan obsesi kesempurnaan paripurna dalam menjalankan proses. Semua seakan diatur sempurna.
SOP dan proses menjadi raja – sampai secara tidak sadar mematikan rasa. Process-check mematikan sanity-check. SOP dan proses sejatinya untuk konsistensi dan efisiensi, bukan untuk mematikan empati dan sanity.
Jangan sampai kita seperti katak dalam tempurung, menjadi manusia yang sibuk dan bangga menjadi naga di kotak sendiri.
Wawasannya cuma sebatas kotak dan sudut-sudutnya, tidak heran sering kagetan mengalami culture shock bahkan akhirnya melempem ketika harus menghadapi kenyataan bahwa ada banyak bentuk yang membuat dunia indah dan penuh warna. Perbedaan secara tidak sadar dicap sebagai ketidaksempurnaan.
Memperluas pergaulan dan wawasan di luar kotak menjadi kunci.
*Executive Coach | GlobalDISC Master Trainer | Perth, Western Australia