MALANG, Tugujatim.id – Masyarakat sering kali mengkonotasikan menjadi seorang seniman itu adalah pilihan jalan hidup yang sulit dan penuh liku. Tak jarang banyak seniman yang harus jatuh di tengah jalan karena tak sanggup dengan segala tempaan.
Karena itu, tugumalang.id partner resmi kumparan.com, partner tugujatim.id, melaksanakan acara ngobrol bareng Perupa Malang untuk membahas bagaimana seniman menghidupi karya sehingga seniman bisa hidup dari karya.
“Bagaimana kami bisa hidup dari karya, kalau kami sendiri tidak mau menghidupi karya. Dalam arti itu kualitasnya, proses dari karya ke karya dan dari waktu ke waktu. Bagaimana karya itu sesuai dengan karakter yang kami ungkapkan. Cepat atau lambat, di kemudian hari si karya akan menghidupi si seniman itu sendiri,” terang perupa Malang Maruto Septriono saat ngobrol bareng tugumalang.id pada Jumat malam (26/03/2021).
Maruto mewanti-wanti agar konsep itu tidak terbalik dan disalahpahami oleh para seniman, utamanya seniman muda yang baru mulai menjadi perupa.
“Kalau itu terbalik dan kami berusaha hidup dari karya, kami bakalan tidak bisa menghidupi karya. Karena terhenti, karena belum tentu karya itu bisa menghidupi senimannya, proses kami berhenti di situ,” tegasnya.
Karena konsep inilah yang sering kali membuat banyak seniman mulai putus asa dan memutuskan berhenti berkarya.
“Banyak permasalahan yang kompleks, seperti apa ukuran mau terkenal dan bisa menjadi nominal. Itu kan tidak ada standarnya, yang bisa menjadi standar adalah karya kami sendiri, bagaimana kami menentukan standar kualitas karya,” ungkapnya.

Pria yang tinggal di Pakisaji ini menitikberatkan agar seniman lebih fokus meningkatkan kualitas karyanya daripada mengejar popularitas.
“Misalnya kami melihat karya orang lain secara langsung, lalu dari situ bisa membuat karya yang tanding, dalam artian kalau dijejerkan karya itu tanding. Maka dengan sendirinya apa yang diimpikan akan hadir,” bebernya.
Dia melihat banyak seniman yang hanya fokus bermimpi, tapi sangat kurang membuat karya sehingga jalannya hanya di situ-situ saja.
“Banyak yang terbalik, mimpinya dibesarkan, sementara karyanya begitu-begitu saja. Tanpa pernah ada eksplorasi, diskusi, bagaimana standar kualitasnya, itu sebenarnya yang lebih penting. Sayangnya, pendekatan penghayatan seperti ini jarang dilakukan,” tandasnya.
“Semua orang boleh membikin mimpi dan harapan, tapi kalau tidak tercapai kan seperti yang saya omongkan tadi jadi rontok semua,” ujarnya. (rap/ln)