TUBAN, Tugujatim.id – Sebuah pohon jati utuh berdiri tegak di tengah-tengah Masjid An Nur Nurul Miftahul Sofyan Kabupaten Tuban. Kayu berdiameter sekitar 85 Cm menjadi tiang pusat yang menopang atap hingga puncak masjid setinggi 27 meter. Tiang tunggal persis berada di tengah-tengah bangunan masjid.
Tiang utama menyatu sebagai struktur bangunan beratapkan 4 lapis tersebut. Jamaah dapat menyaksikan bentuk dan warna kayu jati khas yang tertanam di dasar tanah di tengah-tengah bangunan masjid. Sementara di sekitarnya, dikelilingi ornamen pendukung berbahan kayu dengan warna serasi.
Masjid An Nur Nurul Miftahul Sofyan berdiri di Kompleks Pondok Pesantren (Ponpes) Wali Songo, Dusun Gomang, Desa Lajolor, Kecamatan Singgahan, Kabupaten Tuban. Arsitektur masjid yang tidak begitu luas itu kental dengan sisi keunikan dan kesederhanaannya, dibandingkan banyak masjid berjajar berarsitektur modern di sepanjang pantai utara Pulau Jawa.
Pembangunan masjid Satu Tiang sendiri dimulai pada 1994, seiring kebutuhan para santri untuk menjalankan salat Jumat. Saat itu, mereka masih harus berpencar di sejumlah masjid di sekitar Pondok Pesantres. Karena memang belum memiliki masjid yang kapasitas banyak orang untuk bisa shalat Jumat.
“Dibangunlah masjid itu, agar para santri tetap nyaman dalam beribadah, tanpa ke sana-sini mencari masjid untuk salat Jumat. Pondok Pesantren berusaha memulai mendirikannya dengan uang seadanya,” jelas KH Noer Nasroh Hadiningrat, Pengasuh Pondok Pesantren Wali Songo Kabupaten Tuban, Kamis (21/03/2024).
Kyai Nasroh, demikian masyarakat biasa memanggil, memasukkan nilai agama dan kekayaan warisan budaya sebagai falsafah pembangunan masjid tersebut, termasuk tiang kayu jati yang menjadi struktur penyangga utama masjid. Pohon jati utuh itu sebagai sebuah karya seni alami yang nyata menunjukkan kekuatan dan keindahan alam.
Makna filosofi juga terkandung pada ketinggian tiang masjid yakni 27 meter, yang terinpirasi dari perjalanan Nabi Muhammad SAW dalam peristiwa Isra’ Miraj pada malam 27 Rojab, dimana kemudian menerima perintah menjalankan salat.
“Satu tiang utama ini menjadi simbol untuk mengingatkan manusia akan kebesaran Allah Swt. bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah Swt,” tegas Kyai Nasroh.
Sementara lebar bangunan masjid yakni 17 meter yang bermakna dalam bagi umat Islam, yakni malam Nuzulul Quran atau turunnya Alquran pada 17 Ramadan. Selain itu juga dikaitkan dengan jumlah rakaat salat wajib dalam sehari semalam yakni 17 rakaat.
“Tidak hanya itu, tanggal bersejarah berdirinya bangsa Indonesia juga pada 17 Agustus 1945. Jadi memang angka ini mempunyai kesan tersendiri bagi penduduk Nusantara,” terangnya.
Sementara panjang bangunan masjid 40 meter yang tergali dari angka usia Rasululllah SAW memerima wahyu untuk pertama kali dan diangkat sebagai nabi dan rasul.
Masjid juga ditopang oleh 8 tiang berukuran kecil yang membantu kekuatan tiang utama agar bisa berdiri kokoh. Sehingga jika dijumlahkan keseluruhan menjadi 9 tiang yang mengacu pada jumlah Wali Sanga, penyebar Islam di Tanah Jawa.
Sedangkan jumlah pintu masjid yang berjumlah 5 buah, sebanyak 3 buah pintu berada di depan dan sisanya di samping kanan dan kiri. Jumlah 5 tersebut menggabarkan Rukun Islam dan 5 butir Pancasila sebagai Pondasi Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Sedangkan bangunan atap masjid yang bersusun 4, ditambah kubah atau gembol akar jati di atas atap, menggambarkan penghormatan kepada Waliyullah yang ada di 4 penjuru mata angin,” tandasnya.
Masjid An Nur Nurul Miftahul Sofyan Kabupaten Tuban ini digunakan oleh warga setempat menjalankan ibadah salat dan menjadi tempat mengaji para santri Pondok Pesantren Nurussalam Walisongo. Masjid tersebut bagi warga sekitar tidak hanya sebagai bangunan secara fisik, tetapi juga simbol keindahan alam dan spiritualitas abadi.
Kyai Nasroh sendiri merupakan putra dari Armaya Mangku Negara atau Gus Maya. Garis keturunannya juga masih menggalir darah Kesultanan Demak Bintoro. Pengabdian ilmunya di Dusun Gomang sudah puluhan tahun lalu, dimulai saat daerah sekitarnya masih berpenduduk belasan kepala keluarga (KK).
Namun Ponpes Walisongo baru didirikan Tahun 1977, jauh sebelum Kyai Nasroh mensyiarkan Islam di kampung tersebut. Awal berdiri hanya memiliki 6 santri dan tahun 1994 memiliki sekitar 800 orang santri.
Reporter : Mochamad Abdurrochim
Editor: Darmadi Sasongko