MALANG, Tugujatim.id – Mbeber Klasa, rutinan bulanan Lesbumi NU Kota Malang setiap tanggal 7. Untuk edisi September 2023 dilaksanakan di Joyogrand, Merjosari, berkolaborasi dengan RW 9, Karang Taruna Singo Songo, dan komunitas Swara Pertiwi.
Mbeber Klasa kali ini mengusung diskusi bertajuk “Film Sebagai Ruang Perjumpaan: Medan Seni dan Pesan Ideologi”. Menghadirkan tiga narasumber yakni Novin Wibowo (praktisi film), M Leo Zainy (aktor sekaligus Dewan Pakar Lesbumi NU Kota Malang), dan Taufan Agustian (film maker dan pengurus Lesbumi NU Kota Malang).
Kegiatan dibuka oleh sambutan Ketua RW 9, Wahyu Rendra. Ia menyampaikan betapa besar harapannya terhadap kegiatan Mbeber Klasa sebagai salah satu upaya Lesbumi NU Kota Malang merawat seni dan membantu pengembangan wawasan dan kemampuan berkesenian di Karang Taruna Singo Songo.
Acara dibuka dengan lantunan suluk trucuk yang merupakan lagu tema dari Mbeber Klasa, disenandungkan oleh ibu-ibu komunitas Swara Pertiwi.
Selanjutnya, hadirin diajak nonton bareng film pendek berjudul Mbiyodo karya Gerakan Nasional Revolusi Mental yang disutradarai oleh Lukman Hakim, menceritakan hiruk-pikuk masyarakat desa saat mengadakan hajatan.
Gambaran gotong royong dengan bumbu rasan-rasan khas mbiyodo turut mewarnai jalan cerita. Film diulas sedikit oleh moderator. Lalu, salah satu narasumber, Novin mengatakan bahwa betapa komunalnya budaya nenek moyang di mana hampir setiap jenjang usia dan hajat selalu disisipi selametan, yang mana semua elemen masyarakat turut bersinergi dalam keberlangsungan acara.
Menurut Novin yang juga merupakan produser film Mbiyodo, ada budaya kita yakni mbiyodo yang sebenarnya adalah acara personal namun melibatkan masyarakat komunal. Adalah upaya nenek moyang mengajarkan anak keturunan menjalin serta menjaga tali silaturahmi.
“Mbiyodo juga merupakan transfer informasi, orang-orang bertukar informasi dengan small group discussion sembari mengerjakan tugas mbiodonya,” ucap Novin.
Jika dinilai bahwa getok tular dalam kegiatan mbiyodo adalah hal negatif karena menggunjingkan orang lain, namun ditinjau dari segi lain, perbincangan yang dilakukan oleh para pelaku mbiyodo adalah bentuk kepekaan individu antar masyarakat, seperti penyelewengan tindak normatif yang dilakukan oleh seseorang di masyarakat akan menjadi topik pembicaraan saat mbiyodo.
Secara teknis, minimal orang yang hadir saat mbiyodo akan menghindari perilaku yang digunjingkan. Artinya, mbiyodo menjadi media untuk menjaga nilai-nilai normatif dalam masyarakat. Film Mbiyodo dinyatakan lolos untuk tayang pada festival film di Inggris dan Amerika.
Leo Zainy, pemeran cak Tomo dalam film Mbiyido, menyampaikan bahwa film Mbiyodo juga menjadi manifestasi ideologi. Keberadaan catering atau EO pernikahan telah menggerus budaya mbiyodo yang tertanam secara turun temurun. Hajat seseorang yang dikerjakan secara gotong royong oleh orang lain dengan totalitas untuk keberhasilan terselenggaranya acara.
“Apabila ada kesalahan dalam tugas mbiyodo, seseorang akan merasa salah dan malu pada empunya hajat. Rasa saling memiliki inilah yang berhasil nenek moyang tanam melintasi abad-abad lamanya,” ucap Leo.
Taufan menambahkan bahwa film menjadi cermin untuk kita dapat melihat lingkungan kita dan merefleksikan diri pada apa yang terjadi di sekitar. Mbiyodo dilihat dari sisi lain mengandung nilai berbagi, gambaran berlimpahnya sumber pangan.
Lanjut Taufan, hajatan tidak hanya memberi hidangan pada tamu berupa kudapan dan makanan, berkat atau buah tangan juga disediakan agar tamu tidak pulang dengan tangan kosong.
Tak lepas hanya pada tamu, orang yang mbiyodo atau rewang juga ditanggung kebutuhan makannya selama mbiyodo. Selesai acara tak lupa pemilik hajat juga memberikan buah tangan sebagai ungkapan terima kasih. “Pemberiannya juga atas dasar rela, tanpa barometer yang pasti untuk ukuran kepantasan, namun tidak mengecewakan untuk diterima sebagai ungkapan terima kasih,” ucap Taufan.
Acara berlangsung secara santai namun berisi dan penuh makna. Diselingi joke-joke serta gelak tawa untuk menghangatkan suasana.
Penulis: M Fikri Al-Ghazali
Editor: Lizya Kristanti