TUBAN, Tugujatim.id – Bagi sebagian orang beranggapan, jika tanah tidak bisa dibuat suatu makanan ringan. Hanya membayangkan saja pasti sudah terasa jijik maupun aneh.
Namun di Tuban ada salah satu kuliner unik nan nyentrik terbuat dari tanah liat. Mungkin hari ini mulai dilupakan di kalangan masyarakat Tuban sendiri, namanya “ampo“.
Ampo menjadi kuliner identitas masyarakat Jawa sepanjang Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Cirebon Jawa Barat. Terkhusus masyarakat Tuban yang memanfaatkan ampo bukan hanya sebagai hidangan kuliner, namun juga sebagai obat dan perlengkapan acara-acara penting.
Salah satu keluarga di Dusun Trowulan Desa Bekthiharjo Kecamatan Semanding, Rasimah (70). Sampai hari ini masih memproduksi ampo di sela-sela kesibukan menjadi petani, bersama putrinya, Sarpik (40).
Untuk menuju tempat pembuatan ampo milik Rasimah, terbilang cukup mudah. Semua orang di desa sudah sangat mengetahui. Sebab banyak para turis, mahasiswa yang tengah melakukan penelitian, serta para media sering meliputnya.
Ampo khas Tuban dengan yang lain hanya memiliki perbedaan pada tekstur. Secara bahan, tetaplah sama dengan pemilihan tanah tidak mengandung batu kerikill maupun pasir.
Keberadaan ampo sendiri lambat tahun mulai pudar di kalangan pemuda, yang konon jauh sebelum Indonesia merdeka. Makanan ini sudah menjadi makanan ringan dipercaya memiliki beragam khasiat bagi kesehatan.
“Membuat ampo sudah menjadi usaha dan keahlian turun keluarga, dari Mbah Buyut, Ibuk, saya sampai anak saya Sarpik,” tutur Rasimah.
Perempuan yang sudah berumur setegah abad itu menceritakan jika orang China dulu sering memesan bahan pembuatan ampo (Tanah liat yang sudah dibentuk padat persegi, red) dan air rebusannya dibuat mandi.
“Kata mereka bisa membuat awet muda, serta bisa mengobati beberapa penyakit ringan,” tuturnya.
Rasimah juga menjelaskan, jika ampo bukan hanya untuk camilan rumahan. Namun untuk sesaji pernikahan, sajian ritual panen padi, dan ritual penting yang ada di desa.
“Dulu ampo digunakan segala ritual di masyarakat, itu menjadikan nilai ampo sebagai warisan yang harus terus dilestarikan,” tegasnya.
Untuk tetap bisa membuat ampo, Rasimah beserta Sarpik menyewa 1 tahun sawah senilai 2 juta, nantinya diolah menjadi bahan baku Ampo siap diproduksi.
Cara pembuatan ampo terbilang muda, tanah liat sawah yang telah dipilah tidak mengandung pasir dan krikil dibentuk bentuk balok biar padat. Setelah tanah itu dicukur mengunakan ‘seseh’ atau bambu yang dibuat tajam seperti pisau.
Lalu ketika sudah menyerupai gulungan coklat lonjong dan tipis, barulah dimasukan dandang untuk diasapi sebagai proses terakhir.
“Seperti ngasapi ikan, jadi gak usah ada api besar. Cukup asapnya saja,” tuturnya.
Perlu diketahui, jika ampo Rasimah sudah tersebar di beberapa pasar di Kabupaten Tuban. Baik yang memesan secara langsung ke lokasi maupun diantarkan. Bahkan ada tengkulak yang secara khusus dari Bojonegoro memesan setiap minggunya.
“Ada yang datang ke sini, ada yang diantar juga. Dalam sehari tidak tentu. Kadang ada dari orang luar negeri juga penelitian ke sini biasanya ditemani Mbak Sarpik anak saya,” tuturnya.
Keberadaan ampo sendiri sekarang seakan sudah mulai kurang diminati. Bahkan, di desa tersebut hanya Rasimah dan puterinya yang masih eksis membuat ampo. (Moch Abdurrochim/gg)