BATU, Tugujatim.id – Pejuang HAM asal Kota Batu Munir Said Thalib telah meninggal 18 tahun lalu atau pada 7 September 2004. Munir mendadak tewas dalam perjalanan pesawat menuju Amsterdam. Mirisnya, hasil otopsi dari jasad Munir Said Thalib itu diakibatkan racun arsenik pada makanannya.
Ya, Munir Said Thalib merupakan sosok aktivis pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) terkenal di masa Orde Baru. Pria asal Kota Batu-Malang, Jawa Timur, tersebut dikenal sangat lantang dalam menyuarakan soal HAM meski di era kepemimpinan Soeharto yang dikenal otoriter.
Tak heran jika nama Munir Said Thalib hingga kini tetap bergaung bahkan menjadi ikon perjuangan menuntut keadilan. Saking berjasanya, sosok dan sepak terjang Munir diabadikan di Museum HAM Omah Munir di Kota Batu.
Dilansir dari berbagai sumber, Munir Said Thalib lahir di Malang, Jawa Timur. Dia lahir dari pasangan orang tua Said Thalib dan Jamilah pada 8 Desember 1965. Semasa kecil, Munir terbiasa hidup mandiri. Apalagi setelah ayahnya meninggal dunia, Munir juga pernah membantu kakaknya berjualan sandal dan sepatu di Pasar Batu.
Kondisi serba sulit tak lantas membuat pendidikannya berantakan. Munir tumbuh berprestasi, bahkan dikenal sebagai sosok pemberani saat membela teman-temannya meski berpostur tubuhnya kecil. Munir tercatat pernah bersekolah di SMP Negeri 1 Batu.
Hingga lulus, Munir muda melanjutkan pendidikan ke SMAN 1 Kota Batu hingga melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB). Di sinilah, nuraninya membela hak orang kecil mulai tumbuh.
Pada 1990, setelah lulus dari UB, Munir mulai fokus meniti karirnya di bidang hukum dan advokasi. Sejak itulah dia mendapat sejumlah amanah. Mulai menjabat sebagai ketua LBH Surabaya Pos Malang, Koordinator Divisi Perburuhan dan Divisi Hak Sipil Politik LBH Surabaya, Direktur LBH Semarang hingga terakhir menjadi Wakil Ketua Dewan Pengurus YLBHI.
Banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia berhasil dia bela mati-matian. Sejumlah kasus pelanggaran HAM yang pernah dia tangani di antaranya: kasus hilangnya 24 aktivis dan mahasiswa di Jakarta pada 1997 dan 1998; kasus Tanjung Priok 1984-1998; dan penembakan mahasiswa dalam tragedi Semanggi I dan Semanggi II.
Di tengah perjalanan, Munir kemudian memutuskan untuk melanjutkan studinya berkuliah pascasarjana di Universitas Utrecht, Belanda. Namun, keputusan ini ternyata membawa petaka bagi dirinya yang kerap merongrong kekuasaan.
Waktu itu, Pesawat Garuda GA-974 yang ditumpangi Munir lepas landas pada 6 September 2004 pukul 21.55 WIB, dari Jakarta menuju Bandara Schippol. Namun, Munir merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya usai melahap makanan yang disediakan.
Hingga kemudian tubuhnya tak lagi kuat melawan dosis racun jenis arsenik tersebut. Munir tumbang dan mengembuskan napas terakhirnya di langit Rumania pada 7 September 2004.
Belakangan diketahui, pelaku pembunuhan Munir itu adalah Pollycarpus Budihari Priyanto, seorang pilot senior Garuda yang ditunjuk seseorang menjadi eksekutor kematian pahlawan HAM tersebut. Dari serangkaian persidangan, Pollycarpus dijatuhi vonis 14 tahun penjara pada 20 Desember 2005.
Hingga kini, setelah lebih dari 18 tahun kematiannya, nama Munir sebagai sosok pejuang HAM tak lekang oleh waktu. Mimpi dan cita-citanya menegakkan keadilan dan HAM masih dilanjutkan generasi muda hingga kini.
Tak heran jika gambar stensil wajah Munir masih kerap terlihat di berbagai tempat. Mulai di simpang empat jalanan, di sudut-sudut kota, kaos sampai di media sosial saat ini.
”Kami ada dan berlipat ganda,” begitu rata-rata bunyi tulisannya.