SUMENEP, Tugujatim.id- Salah satu tradisi petani Pulau Masalembu, Sumenep, adalah adu sapi. Orang Masalembu menyebutnya tok-tok. Tok-tok berbeda dengan Karapan Sapi yang ada di Pulau Madura. Jika Karapan Sapi yang diadu adalah kecepatan lari sepasang sapi, sementara tok-tok adalah mengadu dua sapi jantan. Keduanya saling dorong dengan kekuatan tanduk masing-masing.
Sapi yang kalah kuat biasanya langsung lari begitu saja. Tetapi, ada juga jenis sapi yang tidak mau mengalah. Mereka bertarung habis-habisan sampai para pemilik sapi memutuskan untuk melerainya. Sapi demikian biasanya disebut petthel.
Tradisi ini biasanya digelar pada musim kemarau, mulai bulan Juni hingga November setiap tahunnya. Musim kemarau dipilih, karena pada musim tersebut sapi tidak digunakan untuk membajak ladang. Selain itu, lahan yang digunakan untuk arena tok-tok juga tidak ditanami tumbuhan seperti jagung atau singkong. Masyarakat Masalembu bertani hanya pada musim hujan, dengan mengandalkan air hujan.
Jadi tradisi tok-tok adalah jeda bertani yang diisi dengan adu sapi. Pada mulanya tradisi ini, sama seperti Karapan Sapi yaitu agar para petani bersemangat merawat sapi. Biasanya, sapi yang akan diadu dirawat dengan baik. Diberikan makanan terbaik dan juga jamu, agar sapi bertenaga saat bertarung. Jamu yang digunakan bermacam-macam, mulai dari telur, soda, hingga ramuan-ramuan tradisional.
Perawatan yang ekstra tersebut membuat kondisi fisik sapi sehat dan gemuk. Tentu saja, kondisi sapi yang prima juga bagus digunakan untuk membajak ladang. Walaupun pada perkembangannya, ada pergeseran dari niatan awal. Kini tok-tok juga bernilai prestis dan ekonomis. Sapi yang bisa bertarung dengan lihai harganya cenderung mahal dan sang pemilik sapi seperti memiliki nilai lebih di masyarakat.
Bila musim kemarau tiba, pengumuan tok-tok segera menyebar. Lokasinya yang sangat terkenal adalah Jureg yaitu lahan sekitar seluas lapangan bola dengan permukaan cekung, sehingga memudahkan penonton melihat tok-tok dari posisi yang lebih tinggi. Lokasi ini berada di desa Masalima Dusun Tengah, Masalembu.
Proses tok-tok dikoordinir oleh seorang Bhuto yang memasangkan sapi-sapi yang cocok. Yang besar dilawankan dengan besar dan kecil dilawankan dengan kecil. Dia akan mengatur jalannya tok-tok agar sapi dapat bertarung dengan baik. Bhuto yang sangat terkenal bernama Atip.
Saat tok-tok mau dimulai, Atip biasanya menuju tengah arena lalu memberikan informasi, bahwa acara akan dimulai serta memilih sapi yang akan diadu perdana.
Ketenaran Atip dalam dunia tok-tok di Masalembu, tidak hanya kepiawaiannya dalam memasangkan sapi yang akan bertarung. Tetapi, dia juga punya kemampuan menaklukkan sapi yang ngamuk atau lepas.
Jika ada sapi lepas biasanya, Atip akan mengejar sapi itu lalu memegang tanduk kedua sapi dengan kencang sembari ditarik ke samping seperti memutar ster mobil. Anehnya, sapi seperti tak berdaya saat dipegang Atip. Orang Masalembu menyebutnya ekeppek Atip, saat itulah dengan mudah pemilik sapi mengikat hidung sapi dengan tali yang disebut tongar.
Dalam arena tok-tok, masyarakat Masalembu sekaligus membangun silaturahmi antar petani. Bisa jadi mereka bertukar pengetahuan tentang bagaimana merawat sapi yang baik. Sapi yang sangat gemuk dan besar akan dikagumi. Dan, biasanya diadu di sesi akhir sebagai penutup acara tersebut.
Jenis sapi yang diadu ada tiga macam, jenis lokal, jenis sapi Jawa dan sapi limusin. Sapi-sapi ini juga sebetulnya sebagai komoditas perdagangan bagi masyarakat Masalembu. Sapi-sapi yang sudah besar akan dijual ke luar daerah. Salah tujuan utamanya ke Kalimantan.
Dengan demikian, sapi bagi masyarakat Masalembu tidak hanya sekedar hewan peliharaan tetapi juga tradisi, prestis sosial, sumber ekonomi, dan aset masa depan.