Oleh: Muhammad Hilal*
Tugujatim.id – Film ini mengingatkan saya pada Inception yang keren itu. Bedanya, jika inception berkisah perjalanan sekelompok orang menembus mimpi dalam mimpi, maka One Cut of the Dead ini mengisahkan sejumlah orang yang berupaya keras membuat film dalam film.
Bagaimana bisa? Di tangan manusia-manusia kreatif, hal itu tentu bisa terjadi.
Sesuai dengan judulnya, film ini berkisah tentang sebuah film yang diambil dalam sekali pengambilan gambar (one cut atau one take). Ini sebenarnya hanya terjadi di 37 menit awal. Kesan yang akan penonton tangkap pun akan berupa kecewa atau bingung, sebab adegannya tampak amatiran dan terjadi kesalahan di sana-sini.
Di 37 menit awal ini, Anda akan bingung kenapa ada seorang tukang sound berbaju oranye duduk santai saat para pemain ketakutan karena ada zombi di luar gedung. Lalu ada adegan seru pemain dikejar-kejar zombi, tapi pengambilan gambarnya dari sudut yang tidak tepat, seperti kamera diletakkan begitu saja di tanah. Ada lagi saat kamera kena percikan darah, lalu dilap oleh juru kameranya. Ini semua apaan sih?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu akan bermunculan di benak penonton diselingi beberapa penghakiman akan kualitas film. Namun di situlah letak kejeniusan sang sutradara, Shin’ichirō Ueda. Dia seolah mengarahkan penonton untuk menjadi dongkol dan judgmental.
Setelah 37 menit awal itu selesai, penonton dibawa ke latar belakang kemunculannya. Di situ ditunjukkan kenapa mereka membuat film yang prosesnya berupa sekali pengambilan (one take). Ditunjukkan pula kerumitan-kerumitan persiapan yang dihadapi para awak kru, seperti penentuan pemain, proses reading, serta rupa-rupa kerumitan lainnya.
Bagian latar belakang ini seperti membawa penonton untuk sedikit bersimpati pada bagian 37 menit awal itu. Dan itu belum seberapa. Di bagian berikutnyalah senjata pamungkas sang sutradara tersimpan.
Bagian akhir ini semacam behind the scene dari bagian 37 menit awal. Di situ ditunjukkan prosesnya satu per satu, dan dijawab pula berbagai pertanyaan yang membuat penonton dongkol tadi.
Penonton akan tahu jawabannya kenapa tukang sound tadi duduk santai di samping para pemain yang ketakutan. Lalu ditunjukkan pula kenapa ada pengambilan gambar dari sudut atas tanah itu dan bagaimana prosesnya. Serta, kamera yang dilap dari percikan darah itu juga dipertontonkan prosesnya dengan sangat bagus.
Singkat kata, segala unek-unek dan kedongkolan para penonton akan dibayar lunas di bagian akhir ini. Tidak ada satu pun yang tersisa. Dan dari sinilah penonton akan merasakan perasaan berbeda. Segala dongkol dan kesal tadi akan berubah simpati dan kekaguman.
Jika harus disebutkan pesan yang hendak disampaikan oleh film ini, saya rasa pesan tersirat itulah yang segera terlintas. Segala bentuk penghakiman terhadap sesuatu tanpa melihat prosesnya yang utuh adalah kecerobohan.
Bagian 37 menit awal memang terkesan sangat amatiran dan memiliki kebocoran di banyak bagian, namun setelah diletakkan bersamaan dengan belakang layarnya tampaklah bahwa semua itu dikerjakan dengan penuh dedikasi.
Kita akan semakin kagum pada film ini jika kita membayangkan kerumitan proses pembuatannya. Persiapan dan perencanaannya pasti tidak asal-asalan sebab banyak di antaranya menjadi adegan dalam adegan.
Adegan juru kamera yang mengelap lensa kameranya, misalnya, harus sekaligus jadi adegan saat asistennya menyerahkan tisunya di bagian adegan belakang layar. Itu tentu butuh perencanaan matang karena momennya harus pas dan tidak boleh ada kesalahan. Sekali ada kesalahan maka bagian 37 menit yang sekali pengambilan itu harus diulang dari awal lagi.
Kekuatan yang dimiliki oleh film ini adalah ide dan kreativitasnya, mungkin juga keberanian dan ketekunannya. Mereka yang tahu bagaimana sebuah film dibuat tentu akan terkesima pada proses perencanaan dan pembuatannya.
Sudah banyak film yang dibuat hanya dalam sekali pengambilan gambar, bahkan eksperimentasinya pun sudah dimulai sejak 1917 yang silam, namun ide adegan dalam adegan seperti ini–ditambah bumbu 37 menit sekali pengambilan gambar—tampaknya dipelopori oleh film One Cut of the Dead ini.
Berkat kepeloporannya ini, keuntungan yang diperoleh oleh film ini adalah 1.000 kali dari modal pembuatannya hanya dari bioskop-bioskop di Jepang saja. Anggaran pembuatannya hanya ¥ 3 juta (sekitar Rp 326 juta) sedangkan keuntungan domestiknya adalah sekitar ¥ 3 miliar (sekitar Rp 326 miliar). Ini belum ditambah keuntungannya setelah ditayangkan ke negara-negara lainnya.
BIODATA FILM
Judul: One Cut of the Dead
Sutradara: Shin’ichirō Ueda
Pemeran: Takayuki Hamatsu, Yuzuki Akiyama, Kazuaki Nagaya, Harumi Shuhama, Manabu Hosoi, Hiroshi Ichihara, Shuntaro Yamazaki, Sinichiro Osawa, Yoshiko Takehara, Sakina Asamori, Miki Yoshida, Ayana Goda, Mao.
Rilis: 4 November 2017
Durasi: 97 Menit
Asal: Jepang
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugujatim , Facebook Tugu Jatim ,
Youtube Tugu Jatim ID , dan Twitter @tugujatim