Ketika kita menonton film bertema fiksi dengan genre monster seperti Godzila: Planet of The Monster (2017) dapat kita saksikan keberadaan monster Godzila mampu menebar ketakutan terhadap orang-orang sekitar. Bagaimana tidak? Tubuh yang besar dan kuat dibarengi dengan kekuatan tak tertandingi, menisbahkan diri sebagai super power yang siap memporak-porandakan bangunan-bangunan dan tatanan alam di sekitar, demi mencapai tujuan yang diinginkannya.
Monster seperti itu tidak hanya bisa dilihat dalam dunia fiksi saja. Tetapi juga bisa jadi kelak, dalam beberapa bulan ke depan, kita bisa melihat pengejawantahan secara nyata. Bukan dalam wujud makhluk berbadan besar dan memiliki kekuatan di atas normal. Tetapi kita bisa melihatnya melalui instrumen hukum, produk kesepakatan eksekutif dan legislatif yang siap membombardir sumber daya alam yang masih tersedia. Membumihanguskan pohon-pohon di hutan masyarakat adat.
Kelak, kita akan melihat bencana demi bencana datang, akibat dari ekploitasi alam yang didasarkan atas legalitas berjubah hukum. Yang bersifat monster. Dialah “Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja”.
Jargon-jargon yang selalu dikumandangkan baik oleh Presiden maupun Ketua Badan Legislatif DPR RI pada saat draft RUU tersebut ramai diperbincangkan di jagad media sosial dan media konvensional adalah “baca dulu Undang-Undangnya. Tidak ada penghapusan pasal-pasal terkait prosedur Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan izin lingkungan”. Namun, fakta hukum dari draft Undang-undang ini adalah prosedur-prosedur hukum lama yang telah diganti dengan prosedur hukum baru yang lebih singkat dan praktis”.
Timbul pertanyaan besar di sini, apakah dengan memangkas regulasi agar tercipta proses perizinan yang cepat dan praktis berdampak positif terhadap kelestarian ekosistem di wilayah tersebut?
Klaster lingkungan adalah klaster yang perlu mendapat sorotan serius dalam Undang-undang ini. Bagaimana tidak? Dalam hal pembahasan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pihak dari masyarakat sipil yang diikutsertakan dalam pembahasan tersebut hanya masyarakat yang terkena dampak langsung.
Kenyataannya, dampak dari aktifitas eksploitasi alam, tidak hanya dirasakan oleh masyarakat secara langsung, tetapi masyarakat di wilayah sekitar juga akan terkena dampak mulai dari kualitas udara, struktur tanah dan pencemaran limbah.
Di samping dihilangkannya peran masyarakat yang tidak terkena dampak langsung adalah peran dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Non Goverenmental Organization (NGO) yang aktif berjuang di isu-isu lingkungan dan juga mempunyai andil sangat besar menjaga ekosistem dan kelestarian lingkungan, sengaja dikebiri pemikirannya dan diamputasi pergerakannya. Padahal merekalah yang bisa merasakan kegelisahan, ketakutan dan kemarahan habitat-habitat alam akibat proses eksploitasi yang berlebihan, merekalah penyambung lidah alami.
2 November 2020 Presiden telah mengesahkan Draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Riwayat proses pembentukannya yang penuh drama. Mulai dari halaman yang berbeda-beda, dibuat tanpa melibatkan partisipasi masyarakat, dibahas melalui proses senyap dan ada pengakuan salah ketik dari pihak istana ketika sudah disahkan oleh Presiden, membuat stigma Undang-undang ini negatif.
Selain berisi pasal-pasal yang bersifat monster dan memiliki riwayat prematur di fase pembahasannya, juga mempunyai riwayat malapraktik dalam pembuatannya. Inilah tragedi hukum di negara yang konstitusinya menyatakan bahwa “Indonesia adalah negara hukum”.
Selamat datang di era kemunduran! Kerakusan investor serta negara yang sedang dahaga akan pemulihan ekonomi dengan menumbalkan sektor lingkungan melalui instrumen hukum adalah bukti, bahwa negara tidak menempatkan hukum sebagai garda terakhir guna menjaga lingkungan dari kerakusan itu.
Negara sengaja menciptakan monster hukum yang siap menjadi garda terdepan bagi masyarakat sipil yang menolak keinginannya.”Ini sesuai dengan prosedur hukum, kamu menentang, berarti kamu siap untuk dihukum”. Mungkin ini kata-kata yang akan kita dengar beberapa bulan ke depan, jika ada masayarakat sipil yang menolak dan menentang ketika wilayahnya terkena dampak lingkungan akibat eksploitasi alam yang sudah diberikan izin oleh Pemerintah. Monster hukum sudah dihidupkan, “Selamat datang di era kehancuran!”

Ferry Anggriawan SH MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang