MALANG, Tugujatim.id – Divisi Propam Polri merespons laporan keluarga dan korban tragedi Kanjuruhan soal pernyataan eks Kapolda Jatim yang menyebut bahwa penembakan gas air mata di Stadion Kanjuruhan sudah sesuai prosedur.
Terbaru, Divpropam Polri telah melakukan pemeriksaan terhadap 16 pelapor di Polresta Malang Kota pada 19-20 Desember 2022.
Pendamping Hukum dari Tim Gabungan Aremania (TGA), Anjar Nawan Yusky menjelaskan bahwa pemeriksaan itu berlangsung selama dua hari. Sebanyak 16 orang dari 20 pelapor telah selesai menjalani pemeriksaan oleh Divpropam Polri. Sementara empat pelapor lainnya akan dijadwal ulang karena berhalangan.
“Materi pemeriksaan seputar identitas pelapor, hubungan dengan korban, hingga pengetahuan soal peristiwa Kanjuruhan,” kata Anjar, pada Rabu (21/12/2022).
Dia menjelaskan bahwa pemeriksaan ini sebagai respons atas laporan 20 penyintas tragedi Kanjuruhan yang menilai aparat keamanan diduga menyalahi atau melanggar kode etik pengamanan pertandingan sepak bola.
Disebutkan, penggunaan gas air mata yang berlebihan, tidak terukur, dan mengarah ke tribun stadion yang mengakibatkan tewasnya 135 korban jiwa.
“Intinya, kami menduga ada pelanggaran kode etik dan kesalahan prosedur dalam operasi pengamanan pertandingan sepak bola di Stadion Kanjuruhan yang menggunakan gas air mata hingga mengakibatkan korban luka hingga meninggal,” bebernya.
Padahal menurutnya, penggunaan gas air mata dalam pengendalian massa ada prosedurnya. Salah satunya memberikan peringatan sebelum penembakan. Berdasarkan keterangan pelapor atau saksi, Anjar mengatakan bahwa tak ada peringatan yang diberikan aparat sebelum menembakkan gas air mata.
Untuk itu, Anjar menyebutkan bahwa eksekutor penembakan gas air mata, eks Kapolres Malang, hingga eks Kapolda Jatim yang menjabat saat itu perlu dilakukan sidang etik. Pasalnya, korban yang hanya diam di tribun, tidak merusak fasilitas stadion, hendak pulang, tidak turun ke lapangan, hingga tidak tawuran, justru menjadi korban luka hingga korban meninggal akibat gas air mata.
Anjar membeberkan bahwa jelas eksekutor penembakan gas air mata dari unsur Brimob dan Sabara Polres Malang perlu di sidang kode etik.
Kemudian pihaknya juga melaporkan eks Kapolres Malang, AKBP Ferli Hidayat dengan dugaan tidak melakukan upaya pencegahan atau penghentian penembakan gas air mata saat peristiwa terjadi.
“Kami menduga dia tidak mencegah dan berusaha menghentikan penembakan gas air mata saat peristiwa terjadi. Investigasi TGIPF dan Komnas HAM juga tidak ada yang menyatakan kapolres mencegah dan menghentikan penembakan gas air mata. Kalau itu dicegah atau diminta dihentikan, tentu korban tidak sebanyak ini,” ungkapnya.
Sementara itu, pihaknya juga melaporkan eks Kapolda Jatim, Irjen Nico Afinta agar disidang etik oleh Propam Polri. Pasalnya, Irjen Nico telah menyatakan dalam pernyataan rilisnya bahwa penembakan gas air mata tersebut sudah sesuai SOP.
“Dia memang tidak di TKP. Tapi sehari setelah peristiwa, Kapolda merilis bahwa penembakan gas air mata di Kanjuruhan sudah sesuai SOP. Artinya, seorang pimpinan kepolisian tertinggi di Jatim membenarkan penembakan gas air mata yang menewaskan ratusan korban itu sudah benar. Dia tidak mengatakan perlu evaluasi atau pendalaman, tapi dia mengatakan sudah sesuai SOP,” beber Anjar.
Dimutasinya eks Kapolda Jatim dan eks Kapolres Malang hingga penetapan enam tersangka tragedi Kanjuruhan disebutnya sebagai respon kecil atas tewasnya 135 jiwa.
Anjar mengatakan bahwa ada proses penyelidikan internal Polri yang belum dijalankan. “Ini sangat penting, yakni perlu ditindaklanjutinya penyelidikan terkait terbitnya izin pertandingan yang diterbitkan Ditintelkam atas nama Kapolda saat itu,” ujarnya.
Mewakili penyintas tragedi Kanjuruhan, Anjar berharap para terlapor bisa segera dilakukan sidang kode etik oleh Divpropam Polri.
Menurutnya, hukum tidak boleh tumpul ke bawah demi keadilan. Pasalnya, sejumlah aparat kepolisian yang telah diperiksa penyidik tidak jelas kelanjutan dan sanksinya. “Kami melihat ada kesenjangan penanganan kasus Sambo dan tragedi Kanjuruhan. Beberapa pekan, Sambo langsung dicopot dan dipecat, nah di Kanjuruhan ini tidak ada ketegasan,” ucapnya.
“Kami berharap melalui pemeriksaan ini, Propam bisa membuktikan tragedi ini sebagai pelanggaran kode etik atau bisa meluas ke unsur pelanggaran pidana. Seperti kasus Sambo kan awalnya yang terlibat hanya orang-orang di rumah, tapi kemudian meluas ke anggota lain sekelas brigjen dan lainnya,” tandasnya.