SURABAYA, Tugujatim.id – Terkait banyaknya persoalan dan silang-sengkarut pemaknaan karet dari UU ITE hingga banyaknya pihak yang menjadi korban penahanan atas dasar UU ITE, anggota Komisi III DPD Taufik Basari mengungkapkan apresiasinya atas diluncurkannya buku dan microsite “Semua Bisa Kena”. Dia juga menyebut perlunya revisi terhadap UU ITE.
“Saya harus mengakui bahwa bangsa kita ini termasuk elitenya adalah sering denial, menyangkal realita bahwa UU ITE bermasalah. Bahwa semua orang bisa dikenakan pidana dengan UU ITE. Kalau bicara soal keinginan soal revisi UU ITE terhadap pasal tertentu, itu jadi harapan kita. Sekarang bola ada di pemerintah. Mudah-mudahan ada revisi. Kita harus berangkat dari fakta terhadap penyangkalan tadi,” terangnya, Kamis (24/06/2021).
Sementara itu, Pemred Majalah Tempo Wahyu Dhyatmika mengungkapkan sejumlah jurnalis yang menjadi korban UU ITE. Wahyu menyebut, apa yang dialami oleh para korban ini menimbulkan efek yang menakutkan karena berekspresi, kemudian bisa berujung bui.
“Pendapat bahwa jurnalis yang merasa Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 adalah senjata pamungkas yang paling powerfull untuk melindungi pers, itu terpatahkan dengan kasus Diananta. Diananta mengirimkan artikel ke media Kumparan, liputannya memenuhi kaidah jurnalistik, ada upaya konfirmasi dan verifikasi. Kalau ada masalah, sudah dibawa ke Dewan Pers. Ternyata yang diputuskan oleh Dewan Pers tidak diindahkan dan kasus lanjut di pengadilan dan jatuh vonis,” ungkapnya.
Sebagai informasi, Diananta Putra Sumedi adalah mantan jurnalis Banjarhits ID yang divonis penjara 3 bulan 15 hari oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kotabaru karena liputan jurnalistiknya.
Wahyu menambahkan, hal ini merupakan pukulan luar biasa keras dan mengejutkan buat orang-orang yang merasa kebebasan pers di Indonesia sudah permanen. Kasus Diananta dan para jurnalis yang lain menjadi titik balik bahwa upaya ini belum selesai untuk kebebasan pers.
“Kita sekarang mundur untuk kembali ke era ketika harus waswas setiap saat karena UU pers bukan solusi yang final. Ini menimbulkan kekhawatiran, bagaimana nasib kebebasan berekspresi dan berpendapat. Selama revisi tidak terjadi, selama UU ITE tidak diubah pasal karetnya kita akan terus dihantui kecemasan ini. Kita tidak bisa lagi menganggap Indonesia sebagai negara demokrasi kalau ini tidak diubah,” imbuhnya.
Dari data SAFEnet tercatat, ada 316 kasus dari 2008-2020. Sejumlah 1.842 kasus dari olahan data Salinan Putusan Mahkamah Agung dari 2013-kuartal pertama 2021. Sebanyak 15.056 akun yang diselidiki kepolisian dari data Tipidsiber Polri dari Mei 2017-2020.
Direktur Eksekutif SAFENet Damar Juniarto mengingatkan untuk tidak hanya berhenti bicara angka. Dia selalu mendengarkan cerita-cerita dari para korban UU ITE yang berlatar belakang berbeda-beda.
“Delapan tahun saya tanpa henti bertemu dengan mereka dan mendengar ceritanya. Orang biasa seperti ibu rumah tangga, penghuni kos, dan pekerja. Orang-orang yang harus bolak-balik pergi ke kantor polisi. Ditahan berhari-hari, bahkan ada yang sampai 100 hari. Kemudian bersidang dan dipenjara,” jelasnya.
“Orang-orang ini bukan angka, mereka punya nama. Mereka punya kehidupan. Yang kemudian dirampas begitu saja. Untuk kesalahan yang tidak pernah mereka perbuat. Dampak UU ITE pada mereka yang berkasus tidak banyak didengar orang,“ ujarnya.