Oleh : Btari Najwa Naila*
Tugujatim.id – Surat ini saya tulis untuk Sagara Yudhistira, sosok yang saya kagumi selama dua tahun lamanya. Sagara, rasanya baru kemarin saya melihat kau berlari memasuki gerbang sekolah dengan tergesa karena terlambat.
Rambutmu saat itu tak tertata rapi. Kacamatamu juga terlihat berantakan, bahkan tasmu hanya diselempangkan dengan asal di lengan kananmu.
Also Read
Sagara, rasanya baru kemarin ketika saya dengan segala kepercayaan diri menghampirimu di koridor sekolah. Saya bertanya, “maaf, apa ini kak Sagara ketua ekskul jurnalistik?” Kau hanya menjawab pendek, “Iya.”
Sagara, rasanya baru kemarin di saat kita mendiskusikan sastra Orang-Orang Proyek yang ditulis Ahmad Tohari, ataupun buku Laut Bercerita karya Leila S. Chudori. Saya tahu, kau sangat menyukai karya Bu Leila yang satu itu.
Kamu bilang, “arti nama saya adalah setenang lautan, Diandra. Namun, buku laut bercerita menyimpan banyak hal tak terduga di sana. Lautan yang tenang itu ternyata tak setenang luarnya, begitu juga seperti saya,”
Sagara, awalnya saya tak mengerti mengapa kamu menyamakan dirimu dengan lautan, tapi lama kelamaan setelah mengenalmu, saya perlahan memahami.
Sagara dengan ketenangannya, tapi Sagara juga bisa menjadi pemimpin sehebat Yudhistira sang sulung Pandawa dalam cerita maha sastra Mahabharata seperti nama belakangmu.
Sagara, maaf jika saya memang sudah jatuh terlalu dalam, maaf hanya bisa diam. Maaf … saya pengecut. Saya tidak tahu apakah kamu pernah sadar jika saya mengagumimu setelah dua tahun ini.
Saya juga tidak tahu apakah ucapanmu, “Diandra, semua perempuan itu cantik. Pun kamu juga,” bermakna sesuatu.
Saya tidak tahu apa pandanganmu terhadap saya. Yang jelas saya berterima kasih karena kau telah menjadi sosok inspiratif bagi tulisan saya selama dua tahun ini. Sagara, terima kasih. Dengan ini, saya menyerah, Gar.
Saya menyerah untuk menyembunyikan semua perasaan yang sudah mati-matian saya pendam. Saya menyerah untuk berharap pada ketidakjelasan yang saya sendiri sudah tau akan sia-sia. Saya menyerah untuk suatu janji yang saya pegang pada diri agar tidak terlalu jatuh.
Saya menyerah karena saya melihat pandangan matamu yang sangat berbinar saat berkata, “saya akan berangkat ke Bandung, Ra, dua hari lagi. Saya tak sabar bertemu orang yang sudah saya tunggu selama lima tahun ini,”
Ah, pasti orang itu spesial sekali. Kamu menunggunya lima tahun ya, Gar? Sedangkan saya hanya dua tahun tapi sudah sesombong ini.
Surat ini akan saya titipkan sebelum kamu berangkat. Maaf saya hanya berani mengutarakan lewat surat. Saya harap kamu mengerti.
Dengan ini, selesai ya, Sagara Yudhistira? Maaf, selesai untuk saya, maksudnya. Karena ‘kita’ memang tidak pernah dimulai, kan? Saya harap kau dapat menemukan kebahagiaanmu.
*Garuda Literasi