PASURUAN, Tugujatim.id – Penataan pedagang kaki lima (PKL) dan parkir di kawasan Alun-Alun Kota Pasuruan masih jadi problema yang harus diselesaikan oleh pemerintah kota (pemkot). Pemkot Pasuruan pun perlu menakar solusi bagaimana agar keberadaan PKL dan parkir tidak mengganggu kenyamanan wisatawan religi yang berkunjung ke Kota Santri ini.
Demi mencari solusi terbaik, Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik Kota Pasuruan melakukan studi banding ke kantor Dinas Komunikasi, Informatika, dan Persandian Kota Yogyakarta, Jumat (19/05/2023).
Dalam studi banding tersebut, Kepala Diskominfotik Kota Pasuruan Imam Subekti berdiskusi dengan Kepala Diskominfosan Kota Yogyakarta Tri Hastono berdiskusi terkait perbandingan penataan kawasan Alun-Alun Kota Pasuruan dengan kawasan Malioboro Yogyakarta.
Kepala Diskominfotik Kota Pasuruan Imam Subekti mengatakan, pembangunan payung Madinah Alun-Alun Kota Pasuruan sudah membawa dampak positif dengan menjadi magnet yang menarik kedatangan wisatawan. Namun, permasalahan baru muncul saat para PKL dan juru parkir enggan mengikuti konsep penataan alun-alun yang sudah dirancang pemerintah.
“Yogya ini bisa jadi best practice untuk dicontoh. Di Yogya, jumlah PKL ada ribuan bisa tertib direlokasi ke teras Malioboro 1 dan 2, termasuk juga penataan parkirnya. Di Alun-Alun Kota Pasuruan hanya 124 PKL saja, kami kesusahan,” ujar Imam.
Dalam diskusi ini, Kepala Diskominfosan Kota Yogyakarta Ignatius Tri Hastono menjelaskan, sejak awal Pemkot Yogyakarta tidak ingin ada gejolak dalam penataan PKL di Malioboro. Karena itu, upaya sosialisasi terkait rencana pemindahan PKL dari pedestrian Malioboro sudah dilakukan jauh-jauh hari. Bahkan, sosialisasi dilakukan sejak 2014 atau sekitar tujuh tahun sebelum PKL dipindah ke tempat khusus pada Februari 2022.
Tempat khusus yang disiapkan untuk menampung 1.700 PKL bernama Teras Malioboro 1 dan 2 dibangun dengan konsep layaknya mall dan pusat perbelanjaan modern.
“Di Yogyakarta tidak ada pengambilan kebijakan yang tiba-tiba, ada rentang waktu agar bisa mempersiapkan diri. Jadi tidak asal melarang, tapi dibangunkan tempat yang layak. PKL tidak dihilangkan tapi dikuatkan dan diformalkan sehingga mereka tetap dapat benefit,” ujar Tri Hastono.
Dibandingkan dengan upaya penataan PKL dan juru parkir di Alun-Alun Kota Pasuruan, sosialisasi yang dilakukan pemkot memang punya jangka waktu yang jauh lebih singkat yakni dalam hitungan bulan. Konsep-konsep penataan PKL dan parkir Alun-Alun Kota Pasuruan juga cenderung berubah-ubah. Di mana konsep yang disosialisasikan Desember 2022, PKL diperbolehkan berjualan pukul 15.00-23.00 WIB di pinggir jalan sisi dalam dan parkir di sisi luar alun-alun tidak dibatasi waktu.
Sementara pada sosialisasi pada awal Maret 2023, konsepnya berubah, di mana parkir di sisi luar alun-alun hanya diberlakukan pukul 07.00-15.00 WIB. Di atas pukul 15.00-23.00 WIB, pinggir jalan sisi luar Alun-Alun Kota Pasuruan diperuntukkan bagi PKL, dan juru parkir dialihkan ke sejumlah titik kantong parkir lainnya.
Konsep baru penataan Alun-Alun Kota Pasuruan ini juga sempat mendapat penolakan dari PKL yang merasa pendapatannya akan berkurang apabila area parkir dipindah. Berkaca pada perbedaan tersebut, Pemkot Pasuruan seharusnya bisa menyediakan jangka waktu sosialisasi yang tidak mendadak dan juga menjaga konsistensi dalam memaparkan konsep yang matang sebelum pemberlakukan penataan PKL dan parkir Alun-Alun Kota Pasuruan.
Munculnya konflik-konflik kepentingan juga tidak ditampik oleh Tri Hastono bahwa itu juga terjadi dalam proses penataan PKL di Malioboro. Apalagi, menurut dia, dari ribuan PKL yang di sekitaran Maliboro, hanya 20 persen saja yang asli dan ber-KTP warga Yogyakarta.
Sementara 80 persen pedagang di antaranya berasal dari luar daerah di wilayah sekitaran Yogyakarta, hingga para perantau jauh dari Madura dan Padang Sumatera Barat.
Tri Hastono menyebut, konflik kepentingan tersebut bisa diredam dengan pendekatan komunikasi yang humanis dan intens. Komunikasi tersebut dibangun tidak hanya dengan para PKL, tapi juga paguyuban hingga berbagai macam komunitas masyarakat yang bersentuhan dengan kehidupan pedagang.
“Di sini pola koordinasi sambil makan soto bareng itu efektif. Kami juga intens komunikasi dengan komunitas masyarakat. Misalnya dengan komunitas orang Madura, kebetulan ada pejabat pemkot yang juga tokoh Madura. Jadi secara kultur lebih enak komunikasinya. Dari sisi penindakan satpol PP juga lebih humanis untuk menghilangkan stigma tukang garuk,” ungkapnya.
Di sisi lain, Tri Hastono juga mengakui bahwa ada pengaruh aspek kultural dari sosok Sultan Hamengkubuwono X yang memengaruhi pola koordinasi kebijakan publik dengan masyarakat Yogyakarta.
Dia mencontohkan peran dari aspek kultural Kesultanan Kraton Yogya ini ketika upaya pemindahan sejumlah juru parkir dari pinggir jalan Malioboro ke lokasi titik parkir wisata. Untuk meminimalisasi munculnya polemik penolakan, Pemkot Yogyakarta menyampaikan bahwa pemindahan parkir ini sebagai “Dawuhe Ngarso Dalem” atau “Perintah dari Raja”.
“Itu memang keistimewaan di sini dibanding daerah lain. Kalau di Kota Pasuruan kan dipimpin sosok Saifullah Yusuf yang juga ‘darah biru’ tokoh nasional mantan menteri dan sekarang jadi sekjen PBNU. Mungkin hal itu yang bisa dimunculkan dan dieksplor saat membangun komunikasi dengan masyarakat,” imbuhnya.
Terkait dengan pengelolaan parkir, Tri Hastono menambahkan, Kota Yogyakarta juga telah menghapuskan sistem parkir berlangganan. Sistem parkir berlangganan ditiadakan karena dianggap tidak efektif.
Sebagai gantinya, Pemkot Yogyakarta menerapkan parkir berbayar di sekitar kawasan Malioboro. Areal parkir yang bisa dikelola pemerintah, orang perorangan, maupun pihak swasta dengan izin legalitas yang jelas.
Pemkot Yogyakarta juga memberlakukan sistem bagi hasil retribusi parkir. Di mana juru parkir akan mendapatkan pembagian hasil paling banyak 60 persen total perolehan retribusi parkir sesuai aturan Perwali Kota Yogyakarta.
“Jadi, kami tidak terbebani APBD untuk membayar gaji juru parkir. Memang pemanfaatan aset pemkot termasuk parkir harus dikelola sungguh-sungguh kalau tidak tiap tahun bisa mendapat catatan BPK,” imbuhnya.
Dibandingkan dengan sistem pengelolaan parkir di kawasan Alun-Alun Kota Pasuruan memang masih perlu banyak penataan. Sebagian besar lahan parkir di sekitar Alun-Alun Kota Pasuruan dikelola oleh pihak perorangan.
Meski aturan soal tarif parkir sudah ditetapkan, tapi masih ada keluhan dari masyarakat terkait juru parkir yang menaikkan tarif di luar aturan. Tidak hanya itu, keluhan terkait juru parkir resmi Dishub Kota Pasuruan yang sudah digaji namun tetap menarik pungutan parkir juga dikeluhkan warga.
Karena itu, sistem pengelolaan parkir yang lebih profesional diperlukan Pemkot Pasuruan. Termasuk menegaskan aturan soal izin pengelolaan parkir dan menegakkan pengawasan dan sanksi bagi juru parkir atau yang melanggar.
Ataupun dengan membuka opsi peluang menggandeng pihak swasta untuk mengelola sistem e-parkir.
Jadi, pendapatan retribusi parkir bisa dipastikan masuk dan dapat menyumbang APBD Kota Pasuruan.
Di akhir sesi diskusi, Kepala Diskominfotik Kota Pasuruan Imam Subekti menyatakan bahwa hasil dari studi banding ini akan dibahas lebih lanjut untuk menyempurnakan konsep penataan PKL dan parkir kawasan Alun-Alun Kota Pasuruan.
“Nantinya kami usulkan dulu apa yang didapatkan dari sini dan bisa diimplementasikan di Kota Pasuruan,” ujarnya.