PASURUAN, Tugujatim.id – KH Abdul Hamid atau yang banyak dikenal orang sebagai Kiai Hamid Pasuruan merupakan salah satu ulama besar yang derajat kewaliannya sudah termasyhur di Indonesia.
Kiai Hamid terkenal sebagai Waliyullah yang mempunyai sifat dan sikap teduh dan meneduhkan.
Dia merupakan sosok yang lembut dan penyayang, tegas tapi sabar, tatimmah (sempurna dan menyempurnakan), tawadhu (berserah diri kepada Allah SWT), dermawan, istiqamah (konsisten), selalu taat asas (taat hukum dan aturan negara), serta berjiwa kepemimpinan.
Kisah Masa Kecil
KH Abdul Hamid terlahir dengan nama kecil Abdul Mu’thi, di mana secara bahasa Arab berarti hamba Allah Yang Maha Pemberi.
Mengutip dari Buku Percik-Percik Keteladanan Kiai Hamid Pasuruan, Abdul Mu’thi lahir pada 4 Muharram 1333 Hijriah atau sekitar antara 1914-1915. Hal ini berdasarkan catatan beliau sendiri yang terangkum dalam sebuah syair gubahan Kiai Hamid sendiri, yakni “Yahfazhuhur Rahmanu”.
Abdul Mu’thi lahir di Dukuh Sumurkepel, Desa Sumbergirang, Kecamatan Lasem, Jawa Tengah. Ayahnya bernama Abdullah bin Umar dan ibunya Raihanna.
Dia lahir ketika pemerintah kolonial Hindia Belanda sedang gencar-gencarnya melaksanakan politik etis, di mana pribumi saat itu yang dibatasi hanya untuk kalangan elite diberikan kesempatan menempuh masa modern.
Di sisi lain, saat itu para ulama dan kiai di wilayah Lasem menentang praktik politik tersebut sehingga taktik Belanda untuk memecah belah pribumi itu tidak sampai menyentuh kalangan pesantren. Gerakan-gerakan perlawanan rakyat terhadap Belanda saat itu juga sudah mulai muncul, seperti Syarikat Islam yang berdiri pada 1908. Kemudian gerakan pembaruan Islam juga tengah berkembang, seperti berdirinya organisasi Muhammadiyah oleh KH Ahmad Dahlan pada 1912 atau sekitar 2 tahun menjelang kelahiran Kiai Hamid.
Kemudian pada 1926, KH Hasyim Asyari mendirikan organisasi Islam Nahdlatul Ulama yang kental dengan tradisi Ahlusunnah Wal Jamaah atau Aswaja yang dekat dengan tradisi budaya Jawa.
Abdul Mu’thi kecil memilik nama panggilan Dul. Dia terkenal sebagai anak yang ekstovert, aktif, lincah, dan punya rasa keingintahuan yang tinggi. Dia juga memiliki hobi sepak bola dan layang-layang. Meski terkenal nakal di kampungnya, dia juga taat mendalami ilmu agama.
Guru agama pertamanya adalah ayahnya sendiri, kemudian Mbah Ma’shum (kakek samping), lalu Kiai Baidhawi Abdul Aziz. Abdul Mu’thi berguru ilmu Tasawwuf, Thariqah, dan Wirid kepada Kiai Baidhawi.
Baca Juga: 11 Pantai di Jalur Lintas Selatan Tulungagung, Bisa Mudik Sambil Wisata Bareng Keluarga
Di usia remaja, Kiai Hamid belajar ilmu agama di Pondok Pesantren Kasingan, Rembang, yang diasuh ulama KH Kholil bin Harun, mertua dari KH Bisri Musthofa Rembang. Di sana, dia belajar ilmu Nahwu dan Sharaf, serta mengaji dua kitab yakni Kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibni Malik dan Al Mahalli.
Selama mondok, dia juga sering berkunjung ke rumah kakeknya di Jember, Kiai Shiddiq yang juga terkenal sebagai Waliyullah penyebar agama Islam. Dia juga sering mampir ke rumah pamannya di Kota Pasuruan, KH Ahmad Qusyairi, yang juga guru besar di Pondok Pesantren Salafiyah.
Kiai Shiddiq sudah melihat bahwa Abdul Mu’thi mempunyai bakat spiritual sejak kecil. Bahkan ketika menjalankan ibadah haji bersama, Kiai Shiddiq dan cucunya ini bertemu dengan Rasulullah SAW ketika perjalanan dari Makkah ke Madinah. Namun, anggota rombongan yang lain tidak melihat. Diperkirakan seusai menunaikan ibadah haji, Abdul Mu’thi pun berganti nama menjadi Abdul Hamid.
Punya Jiwa Dagang yang Jujur dan Amanah
Setelah pulang dari ibadah haji di Makkah, Kiai Abdul Hamid menimba ilmu ke Pondok Pesantren Tremas, Pacitan, yang saat itu diasuh Kiai Dimyati bin Abdullah bin Manan. Selama kurang lebih 12 tahun, Mbah Hamid belajar sekaligus ikut mengajarkan ilmu fikih, tafsir, dan hadis kepada santri-santri Pondok Temas.
Berselang satu sampai dua tahun kemudian, Abdul Mu’thi berpindah pondok ke Pondok Tremas yang didirikan Kiai Abdul Manan, tepatnya di sebelah utara Kota Pacitan.
Di pondok ini, dia hidup sederhana, bekal uang dari ayahnya hanya cukup dibelikan untuk makan nasi tiwul. Meski begitu, berkat ketekunan dan jiwa kepemimpinannya, Abdul Mu’thi dipercaya sebagai lurah pondok atau ketua pengurus pondok.
Di sana, Kiai Hamid remaja juga berinisiatif mendirikan semacam sistem bisnis koperasi pondok, di mana usaha yang dikembangkan adalah bisnis pembibitan pohon yang dikelola para santri.
Baca Juga: 12 Ide Jualan Es Paling Laris Saat Ramadan, Modal Kecil Untung Besar!
Menurut Kiai Idris Hamid, anak dari Mbah Hamid, Pesantren Tremas kala itu sudah menjadi pesantren yang tergolong maju di zamannya. Di sana, Mbah Hamid mendapatkan banyak bekal ilmu-ilmu agama untuk menjadi ulama besar.
Setelah menuntaskan belajar agama di Tremas, Kiai Hamid bersama orang tuanya sudah menetap di Pasuruan. Selama di Pasuruan, Mbah Hamid selalu rajin ikut pengajian Habib Ja’far bin Syichan, salah satu ulama besar di Pasuruan kala itu.
Dia bahkan juga dipercaya Habib Ja’far untuk menjadi juru bicara membahas permasalahan diniyah atau agama dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al Ghozali, yang terkenal sebagai Hujjatul Islam atau Sang Pembela Islam dan Mujaddid Al Qarn Al Khamis atau Pembaru Abad ke-5.
Ketika mencapai usia 22 tahun, Mbah Hamid pun menikah dengan Nyai H Nafisah, putri dari KH Ahmad Qusyairi, salah satu pengasuh Pondok Salafiyah Pasuruan. Di mana KH Ahmad Qusyairi sendiri sudah diberi pesan oleh Kiai Shiddiq (kakek Kiai Hamid) agar Kiai Hamid dinikahkan dengan anaknya.
Belajar dari Kesabaran dan Ketabahan Kiai Hamid
Masa kemandirian Kiai Hamid menjalani mahligai rumah tangga dimulai pasca kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945. Saat itu, mertuanya Kiai Ahmad Qushairi harus pindah berdakwah ke Jember.
Dia pun tinggal berdua bersama istrinya di Ponpes Salafiyah.
Jiwa berdagangnya muncul karena Kiai Hamid bukan berasal dari kalangan orang berada. Mulanya dia pernah berdagang sarung ke Kecamatan Rejoso, Kabupaten Pasuruan.
“Kangge istighna’ anin nas (agar tidak bergantung pada orang lain),” ujar Kiai Hasan Abdillah dikutip dari Buku Percik-Percik Keteladanan Kiai Hamid Pasuruan.
Kemudian Kiai Hamid juga pernah menjadi belantik atau penjual sepeda angin. Hari demi hari, dia jalani dengan mengayuh sepeda ke wilayah Pasar Porong sejauh sekitar 30 km.
Kiai Hamid juga pernah menjadi penjual suku cadang delman, penjual kelapa, hingga kedelai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Meski sempat mengalami masa sulit, namun Mbah Hamid tidak pernah sekalipun terlihat mengeluh di hadapan banyak orang. Dia lebih memilih menutupi segala kesulitan yang dihadapinya.
Kiai Hamid juga terkenal dengan ilmu karomahnya. Kisah-kisah karomah yang tersebar di kalangan masyarakat adalah bisa mengalasa dan membaca keinginan orang lain, dan tiap tahun pergi ke Baghdad tanpa diketahui.
Melansir dari website NU Online, Kiai Hamid juga bisa memprediksi membaca keinginan orang lain. Dikisahkan bahwa Kiai Hamid Pasuruan punya tetangga yang zalim dan acap kali mengganggunya. Kebiasaan tetangga itu adalah melempar batu setiap malam ke rumahnya.
Sekalipun tahu pelakunya, Mbah Hamid tidak pernah tersinggung dan memilih diam. Bahkan ketika tetanganya tersebut ada yang hendak menyelenggarakan acara hajatan, Kiai Hamid justru secara diam-diam membelikan tetangganya tersebut kambing untuk hajatan.
Sekitar 1951, KH Abdul Hamid diangkat menjadi guru besar Pondok Pesantren Ponpes Salafiyah Pasuruan. Dia diminta mertuanya, KH Ahmad Qusyairi, menggantikan KH Abdullah Ibnu Yasin sebagai jadi nazhir atau pengasuh Pondok Salafiyah.
Kiai Hamid harus membina Pondok Salafiyah mulai dari awal karena di masa kepemimpinannya tidak banyak lagi santri yang tersisa. Saat itu banyak santri yang sebagian besar keluar pondok karena tidak mampu menjalani aturan disiplin ketat yang diterapkan oleh pengasuh pondok.
Semenjak dipimpin Mbah Hamid Pasuruan, Pondok Salafiyah mulai kembali ramai didatangi santri.
Lambat laun, kamar-kamar pondok tidak mampu menampung para santri. Jadi harus dibangunkan bangunan baru, termasuk fasilitas pendidikan madrasah klasikal yang mengikuti kurikulum pendidikan terbaru di masanya.
Menurut anak Mbah Hamid, Kiai Idris Hamid, ayahnya dikenal sebagai ulama yang sabar dan tidak pernah memarahi anak maupun santrinya. Dia selalu mendidik dengan cara memberikan contoh sikap atau keteladanan dibandingkan melalui lisan.
Mbah Hamid juga terkenal akan sikap tawadu atau rendah hatinya. Meski sudah menjadi pengasuh pondok, ketika mendatangi pengajian, Mbah Hamid selalu memilih duduk di pojokan berbaur dengan masyarakat biasa. Dia juga selalu menghormati dan melayani siapa pun tamu yang datang tanpa membedakan pangkat, usia, maupun jabatannya.
Baca Juga: Anti Ngadat! Review HP Gaming Poco F4 GT yang Tahan Air: Ternyata Ini Keunggulannya
Pernah suatu ketika, seorang ulama muda yang terkenal asal Makkah, Sayid Muhammad ibn Alwi Al-Maliki, sowan ke Pasuruan. Meski usia ulama tersebut jauh lebih muda, Mbah Hamid tetap sibuk melayaninya, mulai menyuguhkan makanan hingga memijatinya.
Dia mulai diakui oleh banyak orang sebagai waliyullah sejak 1960. Banyak kisah yang menceritakan karomah atau keistimewaan Mbah Hamid sebagai wali. Salah satu hal yang meligitimasi status kewalian Mbah Hamid Pasuruan adalah perjumpaannya dengan Rasulullah Nabi Muhammad SAW.
Selain pernah dua kali ditemui Rasulullah saat kecil, Mbah Hamid juga kembali dipertemukan dengan baginda Nabi Muhammad di kediamannya di dekat Ponpes Salafiyah. Dikisahkan saat itu Mbah Hamid menggelar pengajian memperingati Maulid Nabi di pondoknya. Masyayih dan ulama besar NU juga diundang, di antaranya Kiai As’ad Syamsul Arifin dari Situbondo dan Kiai Ahmad Sidiq dari Jember.
Ketika ribuan jamaah berdiri saat membaca selawat Mahalul Qiyam, Mbah Hamid justru tetap duduk.
Seusai pengajian, Kiai As’ad sempat menegur dan menanyakan alasan Mbah Hamid Pasuruan tidak berdiri saat membaca selawat.
Mbah Hamid seketika menangis seraya menjawab: “Saya tidak memiliki daya untuk berdiri karena Kanjeng Nabi berdiri tepat di hadapanku! Saya merasa kehabisan akhlak. Jangankan ilmu, ibadah dan mujahadah saya, pakaian pun saya malu bertemu dengan Kanjeng Nabi.”
Dimakamkan Ratusan Ribu Jamaah
Berdasarkan buku Percik-Percik KH Abdul Hamid dituliskan bahwa KH Abdul Hamid Pasuruan wafat hari Sabtu, 9 Rabiul Awal 1403 H atau 25 Desember 1982 M. Mbah Hamid mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Islam (RSI) Surabaya setelah dirawat akibat penyakit jantung.
Mbah Hamid berpulang dalam usianya yang ke-68. Kabar wafatnya Mbah Hamid dengan cepat menyebar dari mulut ke mulut hingga lewat radio. Disebutkan bila ratusan ribu jamaah berbondong-bondong datang untuk melayat ke rumah duka sejak pagi hari.
Jamaah dari berbagai daerah memadati Masjid Jami Al Anwar hingga meluber keluar kawasan alun-alun sejauh radius 1 kilometer. Konon saking banyaknya jamaah, keranda jenazah Mbah Hamid dibawa dari kediamannya dengan cara berpindah satu tangan ke tangan yang lain hingga ke Masjid Jami’ Al Anwar.
Salat jenazah dipimpin KH Ali Ma’shum, putra salah satu pendiri NU yaitu KH Maksum Ahmad dari Lasem, Jawa Tengah. Setelah Asar, jenazah Mbah Hamid dimakamkan di kompleks makam ulama dan keluarganya tepat di sebelah barat Masjid Jami Al-Anwar Pasuruan.
Mbah Hamid disemayamkan di antara makam gurunya, Habib Ja’far bin Syichan Assegaf KH, mertuanya, Achmad Qusyairi, dan KH Ahmad Sahal, saudara iparnya. Keberadaan makam Mbah Hamid juga membawa berkah bagi kemakmuran masjid dan para pedagang di sekitar Alun-Alun Kota Pasuruan.
Hampir setiap hari, makam Mbah Hamid Pasuruan selalu dikunjungi peziarah dari berbagai daerah.
Bahkan, setiap malam Jumat Legi kawasan Alun-Alun Kota Pasuruan selalu dipadati warga yang ingin membaca yasin dan tahlil di depan makam Mbah Hamid.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News Tugujatim.id
Writer: HA
Editor: Dwi Lindawati