PASURUAN, Tugujatim.id – Persidangan kasus tambang ilegal di Desa Bulusari, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, memasuki agenda pembacaan duplik dari terdakwa atas replik dari Jaksa Penuntut Umum (JPU), di Pengadilan Negeri Bangil, Kabupaten Pasuruan, pada Kamis (15/12/2022),
Terdakwa Andreas Tanudjaja membantah seluruh dakwaan jaksa. Dalam argumennya, Andreas menyatakan bahwa ia bukan bos atau pengendali perusahaan PT Prawira Tata Pratama (PTP), melainkan hanya sebagai pemegang saham. “Saya yang orang awam dan tidak punya kemampuan melawan, jangan dijadikan sebagai kambing hitam,” ucapnya.
Andreas juga mempertanyakan dasar JPU menentukan kerugian negara senilai Rp228 miliar. Dalam keterangan saksi ahli yang dihadirkan JPU, dinyatakan bukaan lahan yang digunakan sebagai tambang seluas 27 hektar. Sementara menurut Andreas, total lahan yang dimiliki PT Prawira Tata Pratama seluas 20 hektar, di mana hanya 5 hektarnya di antaranya dilakukan penggalian.
Also Read
“Hitungan ahli tidak cocok dikaitkan dengan luasan yang hanya 5 hektar. Hasil hitungannya dana hasil galian jadi spektakuler, sebesar Rp 228 miliar,” jelasnya.
Selain itu, terdakwa juga beranggapan bila aktivitas penambangan yang dilakukannya sejak 2017 adalah kegiatan terbuka yang diketahui banyak orang. Dia mempertanyakan kenapa aparat penegak hukum dan pemerintah Kabupaten Pasuruan baru mempermasalahkannya pada tahun 2020.
Andreas juga berargumen bahwa kegiatan pertambangan itu sudah ada dasar perjanjian kerja sama antara PT Prawira Tata Pratama dengan pihak Pasmar. Menurutnya, atas kerja sama pembangunan perumahan prajurit TNI, pihak Danpasmar sudah mengirim surat tertanggal 16 Oktober 2017 kepada Bupati Pasuruan.
“Saya hanya bisa berharap pada keadilan dari majelis hakim,” pungkasnya.
Meski begitu, jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Pasuruan menegaskan tetap dengan tuntutannya agar terdakwa dijebloskan ke penjara.
Anggota tim JPU Kejari Kabupaten Pasuruan, La Ode Tafri Mada menolak pembelaan terdakwa baik dalam pledoi maupun dupliknya.
Menurut Mada, sapaan akrabnya, terdakwa pantas dituntut karena sudah memiliki bukti kuat adanya kerusakan lingkungan yang cukup berat akibat aktivitas tambang diduga ilegal.
“Dan tidak ada reklamasi atas penambangan ilegal yang dilakukannya. Dia (terdakwa) berusaha membela diri. Tapi kami tetap dengan tuntutan karena sudah merusak lingkungan,” ujar Mada, usai sidang di PN Bangil, pada Kamis (15/12/2022).
JPU menegaskan tetap menuntut terdakwa dengan hukuman berat. Andreas Tanidjaja dituntut hukuman lima tahun penjara dan denda Rp75 miliar.
Menurut Mada, terdakwa Andreas diduga menjadi otak dari penambangan ilegal di Bulusari. “Banyak pihak yang terlibat dalam penambangan, mulai sopir angkut, sopir alat berat, dan lainnya. Dari mereka yang terlibat, kami cari otaknya. Dan otaknya adalah AT. Tidak menutup kemungkinan ada orang lain juga. Yang jelas, masih didalami,” ungkapnya.
Kasus tambang ilegal di Desa Bulusari ini telah bergulir sejak Maret 2021. Berawal dari penyelidikan Tim Bareskrim Mabes Polri atas dugaan pertambangan liar di wilayah Bulusari, Andreas ditangkap.
Sebelumnya, JPU menganggap Andreas melanggar pasal 158 UU RI Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 jo 56 ke 2 KUHP.
Kemudian pasal 98 ayat 1 UU RI nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 jo pasal 56 ke 2 KUHP.
Serta pasal 109 UU RI nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolan Lingkungan Hidup. Dan juga pasal 70 ayat 2 subsider pasal 70 ayat 1 lebih subsider pasal 69 ayat 1 UU RI nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.