SURABAYA, Tugujatim.id – Pengesahan RKUHP 2022 menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat Kota Surabaya. Salah satunya Koalisi Masyarakat Sipil Jawa Timur (Jatim) yang mengaku kecewa dengan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi KUHP baru pada Selasa (06/12/2022).
Menurut mereka, pengesahan RKUHP 2022 terlalu tergesa-gesa. Upaya gugatan hukum pun dinilai akan percuma.
Koalisi Masyarakat Sipil Jatim ini memprotes pengesahan RKUHP 2022 itu dengan aksi diam dan membagikan stiker peringatan #SemuaBisaKena kepada masyarakat. Menurut mereka, langkah itu lebih tepat daripada melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai percuma.
Aksi koalisi itu terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, dan elemen mahasiswa dilakukan di perempatan yang menghubungkan Jalan Mayjen Dr Moestopo, Jalan Dharmawangsa, Jalan Tambah Boyo, dan Jalan Petojo, Surabaya, Jatim.
Salah satu perwakilan massa aksi yang juga pengacara publik LBH Surabaya Habibus Salihin mengatakan, mereka merasa sudah dipermainkan DPR dan pemerintah.
“Kami sudah kapok dipermainkan pemerintah. Beberapa tahun ini mulai UU KPK, Omnibuslaw UU Cipta Kerja, sampai KUHP baru ini, DPR dan pemerintah selalu menjawab silakan bawa ke MK,” katanya di sela-sela aksi.
Sejak awal, Habibus melanjutkan, DPR sudah tidak mau melibatkan publik dalam membahas poin pasal per pasal dalam RKUHP. Padahal, banyak sekali pasal yang bertabrakan dengan kehidupan masyarakat.
Dalam draft terakhir RKUHP, pasal itu masuk dalam Pasal 2 yang terkait dengan living law atau hukum yang hidup di masyarakat. Aturan ini merampas kedaulatan masyarakat adat.
“Jika memang pasal per pasal ini sudah dikaji dan mendengarkan aspirasi masyarakat, maka hal itu tidak akan disahkan,” ucapnya.
Belum lagi pasal lainnya. Pasal penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara dalam Pasal 240 dan 241. Selain itu, juga Pasal 280 mengatur tentang Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan. Hal itu mengancam kerja-kerja advokat dan jurnalis dalam ruang sidang pengadilan.
“Dari awal kami sudah mosi tidak percaya. Karena asas kehati-hatian dalam membuat UU ini tidak dipakai oleh mereka. Suatu hari mereka akan kena sendiri ketika sudah tidak menjabat,” ucapnya.
Senada, Ketua AJI Surabaya Eben Haezer mengaku pihaknya pesimistis dengan upaya menggugat KUHP baru itu ke MK.
“Kami pesimistis mengajukan judicial review ke MK,” ucapnya.
Eben menyebut, ada sejumlah pasal yang berpotensi dapat mengkriminalisasi jurnalis di antaranya Pasal 240 dan Pasal 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah. Selain itu, Pasal 263 yang mengatur tindak pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitaan bohong. Begitu pula Pasal 264 yang mengatur tindak pidana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap.
Untuk Pasal 300, Pasal 301, dan Pasal 302 yang memuat tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan. Pasal 436 yang mengatur tindak pidana penghinaan ringan juga menjadi sorotan. AJI pun mengkritik Pasal 433 yang mengatur tindak pidana pencemaran.
Mereka juga mempermasalahkan Pasal 439 yang mengatur tindak pidana pencemaran orang mati. Begitu juga dengan Pasal 594 dan Pasal 595 yang mengatur tindak pidana penerbitan dan pencetakan.
Dia menyebut, upaya gugatan akan percuma dilakukan. Sebab, sejak awal DPR sudah menutup ruang bagi publik untuk menyuarakan aspirasinya.
“Dari awal publik sudah menyampaikan, tapi sejak awal juga DPR dan pemerintah mengatakan kalau tidak cocok gugat ke MK. Artinya, mereka tidak punya niat untuk memberi ruang pada partisipasi publik,” ucapnya.
Upaya gugatan ke MK ini juga dinilainya akan sisa-sia. Hal itu bisa dilihat dari bagaimana DPR dan pemerintah diduga sudah mengintervensi MK. Salah satunya, Hakim Konstitusi Aswanto karena dianggap menganulir undang-undang yang dibuat oleh lembaga parlemen.
“Siapa yang menjamin MK tidak disandera. DPR bisa mengganti, menarik hakim di MK karena dianggap tidak sesuai dengan DPR ketika memutuskan UU Cipta Kerja Inkonstitusional,” ucapnya.
Menurut dia, langkah terbaik saat ini adalah terus menggalang partisipasi dari masyarakat untuk menolak KUHP bermasalah ini. Sembari itu, pihaknya akan mengonsolidasikan langkah berikutnya.
Sementara itu, elemen mahasiswa yang diwakili perwakilan BEM Fakultas Hukum Unair Wanda Farda mengatakan, pihaknya lebih memilih untuk memberikan pemahaman ke masyarakat. Yakni Pasal 188 yang mengatur tentang tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Serta ancaman pidana terhadap pawai, unjuk rasa, dan demonstrasi tanpa pemberitahuan pada Pasal 256 RKUHP.
“Kami akan memberikan pemahaman kepada masyarakat, contohnya dengan menyebarkan stiker #SemuBisaKena. Sekaligus memberikan informasi ke masyarakat bahwa hukum dan demokrasi di Indonesia tidak sedang baik-baik saja,” ujar dia.