MALANG, Tugujatim.id – Dalam rangka memenuhi program kerja Pusat Sosial-Humaniora dan Pariwisata (PSP) LP2M UM serta memeriahkan rangkaian Dies Natalies ke-67, setiap fakultas menyelenggarakan kuliah umum. Salah satunya oleh program studi sejarah dengan mengangkat tema “Agraria Sebagai Framing Penulisan Historiografi” pada Kamis (16/09/2021) melalui channel YouTube Hembotism.
Salah seorang dosen ilmu sejarah Nugroho Bayu Wijanarko MA ini mengangkat tema yang dulu tenar dan sering menjadi sasaran penelitian profesor ternama, yaitu “agraria”. Webinar ini diselenggarakan dan masih dalam lingkup Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).
Bayu, sapaan akrabnya, mengatakan, kata agraria yang kita dengar secara langsung memunculkan bayangan tanah dalam pikiran. Tanah sendiri faktor yang tidak akan bisa lepas dari kehidupan semua makhluk hidup di dunia. Tempat ini juga merupakan asal usul manusia diciptakan. Dilihat dari unsur kepemilikan tanah didukung dengan sebuah perkataan “sadumuk bathuk sanyari bumi ditohi pati”. Artinya, suatu hal yang menyangkut tanah air jika diganggu akan dibela ataupun diperjuangkan sekalipun nyawa sebagai taruhannya.
Ulasan lebih luas mengenai tanah adalah sebagai ladang ekonomi rakyat. Di mana orang yang memiliki tanah akan lahir dengan problem baru, tidak sedikit dari mereka sampai terbawa ke jalur hukum. Konflik yang muncul akibat ekonomi tanah ini melupakan unsur yang dijunjung tinggi dalam Pancasila, yaitu kemanusiaan. Karena bila hanya dilihat dari komoditas ekonomi, dan tidak memasukkan unsur kemanusiaan akan menyempitkan ulasan mengenai tanah ini.
Pada kajian lain, Bayu mengkaji 3 kata kunci lain, yaitu eksploitasi yang menjelaskan bagaimana tanah bernilai ekonomis bagi para penduduk bumi, akumulasi primitif yang memunculkan kasus industrialisasi di kalangan pribumi di mana dalam literatur lainnya memaparkan bahwa tanah pantasnya dimiliki oleh satu atau dua orang saja, dan melahirkan privatisasi yang menjelaskan bahwa tanah adalah tempat eksklusif yang bernilai ekonomis.
Setelah membebaskan pikirannya dari unsur ekonomis, Bayu menemukan kajian ini dalam historiografi. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, kajian mengenai agraria muncul dalam pembahasan sejarah sosial pada sekitar tahun 2000-an. Istilah “nation state” dengan tujuan untuk memajukan industrialisasi hadir dalam paradigma baru keilmuan sosial budaya.
Menurut kajian Sartono Kartodirjo, tanah Banten yang awalnya menjadi sumber kemakmuran rakyat di sana harus dihilangkan. Tidak jauh dari itu, seorang kolega yang bernama Djoko Suryo menemukan rakyat di Semarang juga sebelumnya dapat menjadikan tanah sebagai hak milik mereka hingga akhirnya harus dirampas oleh pemerintah kolonial. Kuntowijoyo menuliskan, masyarakat Madura mengalami perubahan dalam diri mereka dengan dorongan kolonial akibat evolusi atas ekologi tanah secara fisik.
Tantangan tersendiri dalam meluaskan kajian agraria adalah salah satunya menghadirkan keseharian masyarakat di dalamnya. Perbedaan generalisasi “agraria” dalam penggunaan katanya menciptakan konflik pada “Sewa Tanah di Probolinggo”. Sumber data sewa tanah diperoleh dari Grote Bundel Besluit (GBBT), koran, Curiousity, dan dua lainnya.
Petani sebagai seseorang yang berjasa dalam pengelolaan tanah sangat tidak diizinkan untuk naik derajat dan terpandang “lower class”. Bila posisi seperti petani mampu naik ke tingkat atas, akan dianggap sebagai hama dan mengganggu kemapanan pihak atasnya. Dikembalikan lagi kepada masyarakat agar tidak melulu menggunakan agraria dalam konteks konflik antar daerah atau sebagainya. Pandang terlebih dahulu dari sisi kultural yang melibatkan sugestifitas masyarakat terhadap hal ini.