TASIKMALAYA, Tugujatim.id – Pemasukan akan cukup untuk memenuhi kehidupan. Tapi, tidak akan cukup untuk gaya hidup. Adagium ini tampaknya tepat untuk menggambarkan kehidupan warga Desa Adat Kampung Naga di Tasikmalaya, Jawa Barat.
Saat tim “Jawa Bali, Mereka yang Memberi Arti” oleh Tugu Media Group dan PT Paragon Technology and Innovation melakukan eksplorasi ke Kampung Naga, Kamis (01/09/2022), salah satu yang menarik dari kampung ini adalah soal kesederhanaan dan ketahanan pangan warga kampung.
Penduduk kampung adat yang tidak memakai listrik dan alat elektronik seperti handphone dan televisi ini, mayoritas pemasukannya dari bertani padi.
Cahyan, 52, salah seorang penduduk mengatakan, mayoritas warga Kampung Naga ini mempunyai lahan padi sebanyak 100-150 bata atau tumbak. Untuk diketahui, bata atau tumbak adalah penanda untuk 13 meter persegi lahan pertanian yang digarap.
Jika memiliki 100 tumbak, artinya setiap warga desa ini mempunyai sekitar 1.300 meter persegi lahan pertanian berupa sawah. Rata-rata, dengan lebar tersebut, mereka panen 4 kuintal gabah atau padi yang belum ditumbuk dalam enam bulan sekali.
Sebagai langkah swasembada pangan, semua warga di tempat ini akan menyimpan hasil panen untuk persiapan hidup enam bulan ke depan.
”Kami sering kekurangan uang, tapi tidak akan kekurangan nasi untuk dimakan,” kata Cahyan lalu tersenyum lebar.
Dia menambahkan, dari 4 kuintal beras yang dia panen, biasanya dia menyimpan buat keperluan keluarga 2,5 kuintal. Beras atau padi tersebut lantas ditaruh di lumbung padi atau leit.
“Sedangkan sisanya yakni 1,5 kuintal saya jual, mungkin dapat Rp600 ribu,” imbuhnya.
Uang Rp 600 ribu itu sebenarnya bukan pemasukan bersih karena ada untuk keperluan pupuk dan bibit. Sedangkan untuk pendapatan lain, Cahyan mendapatkannya dari menjadi tour guide dan membantu jika ada tetangga butuh tenaganya seperti memotong kayu.
Untuk menjadi tour guide, Cahyan tidak menentukan tarif.
”Karena kami ini desa adat, bukan desa wisata. Jadi gak boleh menentukan tarif, seikhlasnya saja, dan di sini ada sekitar 10 guide. Jadi ya gantian yang antar tamu,” katanya.
Dia menjelaskan, untuk keperluan hidup dia, istri, dan dua anaknya per bulan butuh sekitar Rp1 juta.
”Sering juga sih gak punya uang, kurang. Tapi, disyukuri saja karena bisa hidup dengan adanya lumbung padi,” imbuhnya.
Sementara itu, Maun, 88, tokoh adat, ini juga mengatakan hal serupa. Dia mengatakan, tumpuan utama dia dan warganya ada pada sawah yang ada di sekitar Kampung Naga. Selain dari sawah, dia membuat aneka rupa kerajinan tangan.
”Lumayan buat tambahan pendapatan,” katanya.
Untuk diketahui, desa adat ini berada di sebuah lembah. Untuk mendatangi desa ini, Anda dari parkiran mobil harus berjalan kaki sekitar 20-30 menit. Selain itu, Anda juga akan menuruni sekitar 444 anak tangga.
Di tempat ini, juga tidak ada listrik. Tapi, tidak adanya listrik bukan karena warga di sini menolak kemajuan. Tapi, takut ada korsleting listrik yang membuat rumah terbakar. Ini karena rumah di desa adat ini sangat berdempetan dan dibuat dari kayu serta anyaman bambu. Bahkan, rumah di sini tidak memakai bahan semen sama sekali.
Dari sekitar 101 kepala keluarga (KK), hanya ada sekitar 5 keluarga yang mempunyai televisi. Itu pun televisi hitam putih yang dihidupkan dengan Accu. Sedangkan untuk handphone, mayoritas warga tidak punya.
”Misal kayak keluarga saya, ada empat orang, handphone satu rumah cukup satu. Dan banyak juga rumah yang sama sekali tidak punya handphone,” kata Cahyan.
Karena itu, warga Kampung Naga bisa dibilang hidup dengan alam. Tim jelajah terlihat menyaksikan anak-anak yang sangat asyik bermain dengan teman-temannya di alam terbuka.
”Mainnya kami ya seperti ini. Saya tidak pakai pernah pakai handphone dan tetap enjoy,” kata Rapka, 8.
Catatan ini adalah bagian dari program Jelajah Jawa-Bali tentang Inspirasi dari Kelompok Kecil yang Memberi Arti oleh Tugu Media Group x PT Paragon Technology and Innovation. Program ini didukung oleh Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP), Pondok Inspirasi, Genara Art, Rumah Wijaya, dan pemimpin.id.