Tugujatim.id – Wisata kuliner di berbagai negara memang menarik untuk diincipi. Namun, apa jadinya jika ada kuliner ekstrem di dunia dengan bahan antimainstrem. Kamu berani coba?
Kuliner ekstrem ini dipercaya menjadi obat bagi suatu penyakit hingga dibanderol dengan harga fantastis. Mulai dari bulu babi, ulat sagu, daging anjing, ular, darah binantang, dan lain-lainnya.
Bahkan, beberapa negara di dunia ada yang tetap mengolah bahan hewan ekstrem ini untuk diperjualbelikan di restoran dengan olahan sesuai khasnya masing-masing. Apa saja olahan kuliner ekstrem yang ada di berbagai negara?
1. Ulat Sagu Bakar (Papua, Indonesia)
Barangkali hewan ulat sering terlihat menggelikan dan menjijikkan bagi sebagian orang. Tapi, ulat sagu justru menjadi makanan lezat yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Papua. Bahkan, mereka dijadikan ulat sagu sebagai lauk pauk dalam makan sehari-sehari. Sebab, hewan ini mempunyai kandungan protein yang tinggi dan bermanfaat untuk pencernaan.
2. Bulu Babi Oseng (Bali, Indonesia)

Wisata kuliner berupa oseng-oseng barangkali sudah tidak asing di telinga masyarakat. Tapi, apa jadinya jika oseng-osengnya berasal dari bahan bulu babi yang sering dijumpai di laut atau berada di pesisir pantai. Apalagi bulu babi juga terkenal sangat berbahaya jika terkena kaki. Ternyata, oseng bulu babi ini menjadi makanan khas di Bali lho.
3. Sup Kelelawar (Filipina)

Di Filipina, hewan kelelawar dianggap makanan yang enak. Karena itu, spesies kelelawar rubah terbang menjadi punah karena diburu di sana. Padahal, diduga berdasarkan pemberitaan bahwa kelelawar adalah salah satu hewan penyebar virus corona. Namun, di negara ini justru malah dijadikan makanan yaitu menjadi sup kelelawar.
4. Pekasam (Indonesia)

Ikan Pekasam khas Banjar ini adalah hasil permentasi ikan, garam, dan beras. Selain itu, bisa dipepes, digoreng kering, dimasak sedikit berkuah, disambal, ataupun tumis pedas. Semuanya lezat dan nikmat. Berani coba?
5. Otak Monyet (Tionghoa)

Makanan Khas Tionghoa ini juga dapat ditemukan di negara lain. Menurut kepercayaan warga Tionghoa, memakan otak monyet dapat menyembuhkan penyakit impotensi.
6. Botok Tawon (Indonesia)

Salah satu kuliner yang unik karena berbahan dasar dari sarang tawon atau sarang lebah diolah dengan khas Indonesia, seperti cabai, garam, gula merah, asam Jawa, tomat, dan bawang merah. Makanan ini pun sering disajikan dan dimakan bersama-sama keluarga.
7. Saksang (Batak, Indonesia)

Makanan khas masyarakat Batak yang dibuat dari daging anjing yang dicincang kecil dan dibumbui dengan rempah-rempah. Baik dengan menggunakan darah hasil sembelihan hewan tersebut ataupun olahan rempah bisa tanpa darah.
8. Drunken Shrimp (China)

Hidangan populer di Tiongkok yang dibuat dari udang mabuk air tawar. Makanan ini dikonsumsi baik sudah masak maupun mentah. Udang ini biasanya direndam dalam minuman keras (alkohol) untuk memudahkan dikonsumsi.
9. Sate Biawak (Indonesia)

Terbayangkan mengerikan, tapi daging biawak yang diolah menjadi makanan ternyata memiliki banyak manfaat. Di antaranya dapat menyembuhkan kulit gatal. Bahkan, dagingnya ditiriskan, dijadikan bubuk, dan dimasukkan ke dalam kulit kapsul sebagai obat.
10. Yin Yang Yu (Tiongkok)

Tidak hanya sajian-sajian mainstream, Tiongkok juga punya sajian yang ekstrem yaitu ikan Yin Yang Yu. Cara pengolahan dan penyajian yang hanya digoreng separo hidup bagian perut hingga kepala ikan. Dan bagian perut sampai ekor matang.
11. Kodok Panggang (Karibia)

Penduduk setempat Karibia menjadikan kodok sebagai bahan makanan. Teksturnya seperti daging ayam, kodok raksasa ini sering dimasak seperti kuliner berbahan daging ayam. Di antaranya, digoreng atau dijadikan campuran sup daging dan kodok panggang.
12. Sannakji (Korea Selatan)

Sannakji hoe jadi makanan asal Korea yang terbuat dari gurita yang masih hidup yang dibumbui dengan wijen dan minyak wijen. Ada juga beberapa restoran yang menyajikan Sannakji hanya dengan meletakkannya di piring dengan sisa-sisa air garam dan dilengkapi dengan saus yang terpisah.
13. Kerang Darah (Tiongkok)

Kerang darah biasanya dimakan oleh penduduk Tiongkok. Kerang darah ini menghasilkan hemoglobin dalam cairan merah yang dihasilkannya. Kerang ini baik dikonsumsi oleh penderita darah rendah karena kandungan zat besinya tinggi.
14. Hakarl (Islandia)

Hidangan tradisional di Islandia olahan dari daging hiu Greenland yang difermentasi dan dikeringkan selama beberapa bulan dengan cara digantung. Hiu Greenland adalah hiu tertua di dunia. Konsumsi makanan ini sudah tepercaya sebagai diet tradisional bagi penduduk Islandia.
15. Casu Marzu (Italia)

Casu marzu berarti “keju busuk” dalam bahasa Sardinia. Keju ini dikenal sebagai keju belatung. Keju ini dilarang dikonsumsi di Uni Eropa, tapi dapat ditemukan di pasar gelap di Sardinia, Italia.
16. Daging Buaya (Amerika)

Daging buaya sudah dikonsumsi sejak zaman dulu dalam berbagai hidangan di Amerika Serikat Selatan dan masih bertahan hingga kini. Bahkan, telur buaya juga dikonsumsi. Sebab, daging buaya dipercaya mempunyai protein tinggi dan rendah lemak.
17. Feesikh (Mesir)

Hidangan tradisional feesikh ini terdiri dari acar asin yang difermentasi dan dikeringkan dari ikan air asin yang hidup di Mediterania dan Laut Merah. Berani coba memakannya?
18. Sup Ular (Vietnam)

Penduduk Vietnam memercayai daging ular memiliki khasiat bagi kesehatan. Karena itu, banyak restoran di Vietnam yang mengolah daging ular menjadi menu makanan.
19. Ikan Buntal (Jepang)

Fugu atau dikenal dengan ikan buntal biasanya tidak bisa dikonsumsi. Sebab, ikan ini mengandung racun yang dapat mematikan bagi pengonsumsinya. Namun, dari sekitar 120 jenis ikan buntal, 22 di antaranya telah disetujui Pemerintah Jepang untuk bisa dikonsumsi.
Di Jepang, ikan ini berhasil diolah menjadi makanan berharga fantastis. Mencapai harga kisaran 30.000 Yen Jepang atau setara dengan Rp3,9jt.
20. Dancing Srimp (Thailand)

Dancing shrimp di Thailand ini adalah masakan bumbu rujak dengan udang yang masih hidup yang menggabungkan sensasi rasa pedas, asin, dan asam yang segar. Jadi, kamu berani memakan kuliner ekstrem ini hidup-hidup?
Writer: Sinta Amanda (Magang)
Editor: Dwi Lindawati