MALANG, Tugujatim.id – Penemuan keganjilan rekonstruksi Tragedi Kanjuruhan, membuat Aremania menuntut dilakukan ulang. Mereka meminta rekonstruksi diulang di Stadion Kanjuruhan, lokasi insiden penembakan gas air mata yang membuat 135 korban meninggal dan ratusan orang terluka pada Sabtu lalu (01/11/2022).
Tuntutan ini muncul karena Polda Jatim terkesan tertutup menangani berkas perkara kasus ini. Beruntung, pihak Kejaksaan Tinggi (Kejari) Jatim telah menyatakan berkas perkara itu tidak lengkap atau P18.
Bahkan, kunjungan Tim Gabungan Aremania (TGA) yang mendatangi Kejati Jatim pada Selasa (03/11/2022) sebagai bentuk rekomendasi dan masukan dari kepentingan korban demi penegakan hukum yang seadil-adilnya soal keganjilan rekonstruksi Tragedi Kanjuruhan. Desakan itu dijabarkan Pendamping Hukum TGA Anjar Yusky yang terbagi menjadi beberapa poin. Intinya, penegakan hukum dari Polda Jatim dalam hal ini masih berat sebelah dan tidak didasarkan pada fakta maupun keterangan lengkap dari saksi dan suporter.
”Itulah tugas kami selanjutnya yaitu untuk memastikan berkas itu di-P19 atau dikembalikan. Dalam waktu 14 hari, dalam berkas perkara itu harus memuat keterangan dan bukti yang diperoleh dari kesaksian korban dan saksi di Stadion Kanjuruhan,” ungkap Anjar pada Jumat (04/11/2022).
Poin pertama yang dikritik adalah rekonstruksi yang diinisiasi Polda Jatim di lapangan Mabes Polda di Surabaya, tapi bukan di Stadion Kanjuruhan. Selain itu, dalam proses rekonstruksi itu tidak menghadirkan saksi mata dari para suporter Aremania.
Sebelumnya, saksi bersama tim TGA telah dipanggil untuk terlibat dalam rekonstruksi, tapi tempatnya di Surabaya. Tim TGA menolak hal itu karena tidak sesuai lokasi TKP. Sementara proses rekonstruksi di sana nyatanya tetap dilanjutkan.
”Sejak awal kami ingin rekonstruksi dilakukan di lokasi TKP. Kami sudah keberatan untuk datang ke sana. Tapi, rekonstruksi tetap berjalan. Hasilnya, para tersangka tidak mengakui ada gas air mata ditembakkan ke arah tribun,” beber Anjar.
Artinya, berkas perkara yang dibuat tidak memenuhi prosedur sebagaimana yang diatur. Ketidakhadiran Aremania dalam proses rekonstruksi itu praktis memunculkan keterangan sepihak.
Padahal, fakta di lapangan, dari para saksi suporter hingga video yang beredar sudah menggambarkan secara gamblang apa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan.
”Kami minta Kejati Jatim untuk juga berperan mengungkap fakta yang sebenarnya terjadi,” desaknya.
Poin kedua, Aremania menuntut penyidik Polda Jatim untuk memeriksa konfrontasi terhadap para saksi. Hal ini mengingat banyak motif dan keterangan berbeda dari saksi yang ditunjuk pihak kepolisian dan saksi dari Aremania yang didampingi TGA. Perbedaan kesaksian ini sangat kentara dari hasil rekonstruksi versi Polda Jatim.
”Masih ada 14 hari dari jaksa untuk mengembalikan atau tidaknya berkas perkara. Di waktu itu, harus dipertemukan para saksi (pemeriksaan konfrontasi) terkait kesaksian penembakan gas air mata di stadion,” jelasnya.
Poin ketiga, Polda Jatim juga harus melaksanakan proses otopsi dan pemeriksaan luka atau visum et repretum sebagaimana diatur dalam Pasal 133 dan Pasal 135 KUHP. Urgensinya jelas, korban Tragedi Kanjuruhan ini memiliki luka beragam.
”Masing-masing kondisi ini harus diklasifikasi secara lengkap lewat otopsi maupun visum untuk mengetahui penyebabnya,” tegasnya.
Poin keempat, Polda Jatim juga wajib berpedoman berbagai temuan fakta dan rekomendasi baik dari Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) dan Komnas HAM. Kedua tim independen tersebut juga sudah mengungkapkan secara gamblang soal temuan-temuannya yang berbeda dari versi polisi.
“Fakta ini tidak boleh diabaikan. Tujuannya agar materi-materi itu dimasukkan dalam P19 sebagai temuan yang telah dilakukan dan dibentuk presiden ini tidak sia-sia,” ujarnya.
Poin terakhir, dalam waktu 14 hari ini Polda Jatim juga dituntut untuk menambahkan sejumlah pasal KUHP dalam berkas perkara. Yaitu Pasal 338 dan atau 340 KUHP (Pembunuhan dan Pembunuhan Berencana). Dan atau 351 dan atau 354 KUHP dan atau Pasal 76 C Jo Pasal 80 UU No 35 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
”Seperti kita tahu, dari 135 korban meninggal dan ratusan korban luka dalam tragedi ini sebagian di antaranya juga adalah anak di bawah umur,” beber Anjar.
Tak hanya itu, penyidik Polda Jatim juga diminta untuk menerapkan Pasal 55 dan 56 KUHP agar dapat memunculkan tersangka lain pada peristiwa tragedi Kanjuruhan Malang. Ini mengingat kesaksian dari para saksi yang menyebut penembakan gas air mata lebih dari 6 orang hingga siapa pemberi instruksi penembakan tersebut.