BOGOR, Tugujatim.id – Indonesia Institute berupaya mempermudah pengurusan visa bagi para pelancong ke Australia pada 2023. Sebab, kini Australia yang dikenal sebagai Negeri Kanguru menjadi salah satu negara yang banyak diminati wisatawan. Menurut studi data Airbnb, Kota Sydney menduduki peringkat kedua terpopuler bagi para pelancong pada 2023.
Tidak hanya untuk perjalanan wisata, Australia juga menjadi negara favorit untuk melakukan study abroad maupun perjalanan bisnis dari berbagai negara, terutama pelajar dari Indonesia.
Indonesia Institute, salah satu lembaga kebijakan publik dalam hubungan bilateral Indonesia-Australia telah mengeluarkan position paper terkait proses pembuatan visa. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan kesadaran terkait proses visa yang kadang terlalu lama sehingga menghambat rencana pengunjung wisata, bisnis, pendidikan, dan keluarga asli ke Australia.
Robbie Gaspar selaku Presiden Indonesia Institute mengungkapkan, proses pembuatan visa Indonesia-Australia pada wawancara secara daring melalui zoom meeting pada Kamis lalu (16/03/2023). Robbie mengatakan, saat ini lebih dari 600 ribu visa yang masih harus diproses tanpa kejelasan kapan visa akan diputuskan, walaupun pemerintah telah mengambil biaya aplikasi.
Dibandingkan negara lainnya seperti Jepang, USA, maupun negara-negara Eropa, proses pembuatan visa di Australia terbilang lebih lama. Sebab, proses pembuatan visa Australia bisa membutuhkan waktu mulai dari 44 hari-21 bulan. Robbie dan tim juga mengetahui beberapa kasus tertentu, seperti ada keluarga di Indonesia yang lebih memilih pergi ke Eropa karena visa Australia terlambat disetujui, biaya aplikasi visa yang berbeda dengan negara lainnya, dan lain-lainnya yang bisa berdampak pada hubungan bilateral antara Indonesia dan Australia.
Selain Robbie dan tim, seorang konsultan asal Australia Greg Clough juga mengungkap kesedihannya pada postingan Indonesia Institute terkait position paper yang dipublikasikan di halaman LinkedIn.
“Istri saya yang berkebangsaan Indonesia harus memperbarui visa Australia ‘permanen’ setiap tahun. Setiap kali dia harus memberikan departemen imigrasi dokumen yang sama persis (akta nikah, akta kelahiran anak-anak Australia kami, dan lain-lain). Tentunya mereka sudah memilikinya di file. Mengapa melalui latihan birokrasi yang menyakitkan ini setiap tahun? Kami menghabiskan uang untuk biaya aplikasi dan biaya pembayar pajak Australia untuk pegawai negeri sipil yang melakukan pekerjaan berulang yang tidak perlu. Oi! Australia! Anda telah memberinya tempat tinggal permanen belasan kali atau lebih. Mengapa Anda terus mengharuskannya untuk melamar kembali setiap 12 bulan?” komentar Greg.
Tidak hanya sekadar informasi terkait kondisi saat ini tentang permasalahan tersebut, dalam position paper tersebut, Robbie dan tim juga merekomendasikan beberapa solusi dan menjalin kerja sama dengan beberapa lembaga terkait termasuk pemerintah Australia Barat untuk membantu Indonesia dalam mendapatkan kejelasan dalam proses membuat visa Australia.
“Saya dan Indonesia sudah memiliki keterikatan. Sejak 2005, saya dipermudah oleh pemerintah Indonesia untuk tinggal di sana. Saya ingin sekali untuk mengundang orang-orang Indonesia ke Australia, tapi bisa terhambat karena pengurusan visa yang membutuhkan waktu sampai berbulan-bulan. Melalui Indonesia Institute, kami ingin sekali membantu Indonesia untuk mendapatkan kemudahan dalam mengurus visa Australia,” ujar Robbie menyampaikan harapannya saat diwawancarai pada Kamis lalu.
Penulis adalah member Pondok Inspirasi (Pondasi).