SURABAYA, Tugujatim.id – Jika dilihat-lihat, tradisi kentongan di era sekarang ini mulai pudar. Tapi, tradisi kentongan masih bisa ditemukan di beberapa daerah di Indonesia terutama di wilayah pedesaan. Mereka biasanya menghidupkan tradisi kentongan untuk bangunkan sahur masyarakat sebagai bentuk menyemarakkan Ramadhan.
Kentongan adalah alat bunyi-bunyian yang dibuat dari bahan ukiran bambu berongga. Tapi, tidak semua kentongan berasal dari bambu, beberapa juga bisa berasal dari kayu yang dilubangi sehingga dipukul akan mengeluarkan bunyi.
Zaman dulu, kentongan digunakan sebagai alarm atau alat komunikasi bagi masyarakat kampung, biasanya tergantung di pos ronda. Kentongan akan dibunyikan ketika ada pemberitahuan atau pengumuman bagi seluruh warga untuk segera berkumpul. Selain itu, kentongan juga dibunyikan sebagai alarm bangunkan sahur.
Baca Juga: 7 Rekomendasi Warna Rambut Golden Brown, Cocok untuk Kulit Wanita Indonesia
Akademisi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Dr Sarkawi B. Husein menyebutkan, tradisi kentongan untuk membangunkan sahur tidak tercatat dalam sejarah. Namun, dia menduga, tradisi tersebut sudah dimulai sejak masa masuknya Islam di Indonesia.
“Tidak ditemukan catatan sejarah terkait bagaimana awal mula tradisi kentongan untuk sahur ini ada. Tetapi, saya menduga tradisi itu sudah ada sejak Islam masuk ke Indonesia,” katanya pada Selasa (11/04/2023).
Walaupun diduga ada sejak Islam masuk ke Indonesia, tradisi kentongan untuk bangunkan sahur masyarakat itu tidak memiliki keterkaitan dengan tradisi Timur Tengah. Namun, di masa itu orang Timur Tengah, bahkan saat zaman Rasulullah SAW sudah memiliki tradisi sendiri untuk membangunkan orang sahur yakni dengan menyerukan azan. Jadi, keduanya memiliki media yang berbeda.
Baca Juga: Simak Tips Modifikasi Motor Nmax agar Makin Kece, Tertantang Tampil Ekstrem?
Hampir di seluruh wilayah di Indonesia memiliki tradisi kentongan. Tetapi tidak semuanya memiliki cara atau penggunaan yang sama. Misalnya saja tradisi ngarak beduk yang ada di Jakarta atau bagarakan sahur di Kota Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan.
“Ngarak beduk sudah ada sejak ratusan lalu. Sedangkan kalau tradisi bagarakan sahur yang ada di Banjar itu juga sudah ada sejak zaman Islam masuk ke Banjar. Mereka menggunakan alat-alat yang sederhana seperti panci, galon, atau radio,” ujar Sarkawi.
Di wilayah perkotaan seperti Surabaya misalnya sangat jarang ditemukan tradisi kentongan. Menurut Sarkwani, tradisi kentongan memang lebih relevan di daerah pedesaan atau perkampungan. Hal tersebut dikarenakan adanya faktor homogenitas dari penduduk dan teknologi.
“Untuk masyarakat homogen seperti di kampung atau desa, tentu tradisi ini masih relevan. Apalagi, tidak semua keluarga di kampung memiliki alat-alat teknologi seperti HP,” paparnya.
Sehingga, tidak heran kalau tradisi kentongan jarang ditemukan di wilayah perkotaan. Masyarakat perkotaan lebih beragam dan tidak semua beragama Islam. Selain itu, penggunaan teknologi digital di kota sudah sangat berkembang pesat. Jadi, membangunkan orang sahur dengan membunyikan kentongan akan sulit direspons.