Tugujatim.id – Beragam diskursus mengenai sekolah tatap muka dan pembelajaran jarak jauh (PJJ) masih menjadi perbincangan hangat di kalangan akademisi. Soal kendala yang dialami siswa reguler, sudah tidak perlu ditanya lagi, banyak yang perlu dibenahi saat menjalankan PJJ. Apalagi, PJJ yang turut dijalankan siswa berkebutuhan khusus. Pastinya, banyak kendala dan hambatan yang melebihi siswa reguler.
Ada sosok Linda Hartati MPsi Psikolog selaku psikolog SLB Khusus Bina Mandiri. Linda menceritakan panjang lebar pada Tugu Jatim terkait beragam ikhtiar guru sekolah luar biasa (SLB) dalam menjalankan kegiatan belajar mengajar selama pandemi Covid-19.
“Upaya guru inklusi dalam memberikan materi pembelajaran dan tugas kepada siswa antara lain membuat modul pembelajaran per minggu, membuat video tutorial atau pembelajaran untuk pelajaran tertentu, Zoom Cloud Meeting dengan pendampingan orang tua, dan video call,” terangnya pada Tugu Jatim melalui telepon Rabu (19/05/2021).
Selain itu, Linda juga menyampaikan sisi unik, menarik, dan sarat inspirasi mengenai guru SLB yang begitu totalitas sampai mengantarkan modul pembelajaran ke rumah masing-masing siswa berkebutuhan khusus.
“Momen unik, menarik, serta penuh inspirasi terkait upaya guru yaitu guru rela mengantar modul pembelajaran ke rumah siswa yang orang tuanya kurang responsif sekaligus mendampingi siswa mengerjakan tugas dari rumah siswa tetap dengan memperhatikan protokol kesehatan,” sambungnya.
Guru SLB juga perlu, Linda menambahkan, menyiapkan modul pembelajaran setiap minggu. Namun, sebagian kendala lain yang mencemaskan, modul-modul yang sudah susah payah dibuatkan oleh guru SLB sering kali tidak dikerjakan oleh siswa berkebutuhan khusus di rumah.
“Kendala, kesulitan, dan tantangan yang dihadapi guru yaitu harus menyiapkan modul pembelajaran setiap minggu, modul sering tidak dikerjakan, untuk menyampaikan materi melalui Zoom Cloud Meeting terkendala fasilitas dan kemampuan mengoperasikan, orang tua kurang responsif. Untuk siswa, kendalanya sulit dikendalikan orang tua. Untuk orang tua kurang terampil mendampingi anak,” ungkapnya.
Berkaitan dengan hal itu, Dr Weny Savitry S Pandia MSi Psikolog selaku Ketua Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia (APPI) menegaskan bahwa banyak sekali tantangan yang dihadapi saat menjalankan PJJ di tengah pandemi Covid-19.
“Sebetulnya kalau untuk SLB, termasuk di sekolah inklusi dari anak-anak berkebutuhan khusus. Ya ini memang cukup banyak tantangannya. Walau masih bisa berjalan, tapi banyak tantangan. Tantangannya itu misal, ada anak yang harus terapi sambil sekolah, dalam satu institusi,” terangnya.
Tentu proses ini harus dilakukan dari rumah, Weny menjelaskan, guru buat program lalu orang tua yang menjalankan. Weny melanjutkan, program ini di awal pandemi penyesuaiannya agak sulit diterapkan. Dia mendengar banyak keluhan dari orang tua. Ketika siswa berkebutuhan khusus belajar bersama orang tua, terasa berbeda ketimbang belajar di sekolah.
“Situasi di rumah mereka tahunya buat santai dan buat istirahat, sekarang rumah juga jadi sekolah. Dari sisi orang tua, dalam mendampingi butuh adaptasi juga. Kalau selama ini orang tua hanya mengulang, pelajaran dari sekolah, menyiapkan anak ke sekolah, sekarang semua program yang menjalankan orang tua,” imbuhnya.
Weny menyampaikan guru sendiri juga harus memikirkan program apa yang bisa dijalankan orang tua, perlu kesabaran untuk semua pihak dalam proses adaptasi. Dalam setahun ini, Weny menyampaikan, banyak sekolah inklusi dan SLB yang mempunyai beragam tantangan.
“Proses adaptasi tidak mudah, program juga banyak yang mengeluhkan. Penurunan terjadi, ada anak yang mood-nya terganggu. Mereka kelompok rentan, tetap di rumah, tapi kebanyakan belum bisa divaksin. Mau tidak mau banyak di rumah, bosan, mengalami gangguan emosi dan gangguan tidur,” ucapnya.
Memang pada akhirnya orang tua dan guru perlu turun tangan untuk mengoptimalkan anak-anak tersebut. Weny melihat guru-guru punya banyak kesempatan belajar, dari pemerintah memang ada channel untuk media belajar guru.
“Kemudian, mau tidak mau, guru harus banyak mengakses dan melek teknologi. Ada dari mana-mana, memotivasi untuk belajar sendiri dan menambah pengetahuan sendiri. Mau tidak mau, merancang supaya tetap bisa belajar dan target tercapainya apa, walau tidak bisa maksimal,” jelasnya.
Hal itu karena orang tua lebih tahu soal perkembangan anaknya, terang Weny, keadaan dan cuaca belajar, hingga situasi di rumah yang jadi tantangan. Crash yang muncul makin besar, sebagian anak menampilkan perubahan perilaku, terhadap interaksi sosial mereka dengan tetangga.
“Kalau dari segi anaknya, mereka mau tidak mau dipaksa adaptasi. Ada yang sulit adaptasi, penerapan sekolah daring bertahap. Tapi ada sekolah yang menerapkan panitia dulu, guru, orang tua, sekali waktu ada evaluasi. Saat pandemi berjalan lama, mulai pembelajaran daring,” ujarnya