TUBAN, Tugujatim.id – Di tengah sejuknya Puncak Banyulangseh, Desa Boto, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, belasan pegiat literasi berkumpul memperingati Hari Lahir (Harlah) Gerakan Tuban Menulis (GTM) yang ke-10, Senin (27/01/2025).
Dengan semangat merawat tradisi literasi, diskusi bertajuk “Cangkrukan Woyo-Woyo, Sepuluh Tahun GTM dan Seabad Pramoedya Ananta Toer, Merawat Warisan Intelektual” menjadi momentum untuk mengenang kiprah sang maestro sastra Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.
Diskusi ini menghadirkan dua tokoh penting literasi Tuban, yakni Kiai Joyo Juwoto dan akademisi muda Kumaidi dengan dipandu oleh Zubaidi Khan.
Also Read
Baca Juga: Korslet! Penyebab Kebakaran Pabrik Pemotongan Ayam di Beji Pasuruan
Mereka menggali lebih dalam perjalanan dan pemikiran Pramoedya yang selama hidupnya tidak henti-hentinya menuangkan gagasan tentang kemanusiaan, keadilan, dan perjuangan bangsa melalui karya sastranya.
Ketua Gerakan Tuban Menulis (GTM) Mutholibin yang akrab disapa Bung MTB ini menggambarkan sosok Pramoedya sebagai pejuang kemanusiaan yang tidak lekang oleh waktu.
“Pram bagi saya adalah sosok yang memberikan pandangan berbeda, sangat Pancasilais, meskipun di masanya dia sering dianggap kontroversial,” ujarnya.
Menurut dia, meski Pramoedya pernah hidup bertahun-tahun di balik jeruji, dia tetap produktif berkarya. Bahkan dalam penjara, Mbah Pram terus menulis.
“Mbah Pram menunjukkan bahwa pena adalah senjata paling tajam untuk membangun kesadaran,” lanjut Bung MTB.
Diskusi ini juga menjadi momentum pentingnya literasi sebagai fondasi peradaban. Gerakan Tuban Menulis yang selama satu dekade ini aktif menggerakkan budaya menulis di Tuban, berkomitmen untuk menjadikan kabupaten ini sebagai kota literasi.
“Kami ingin semangat literasi tidak hanya menjadi kegiatan seremonial, tetapi menjadi budaya sehari-hari,” tambah Bung MTB.
Dalam diskusi tersebut, peserta diajak untuk memahami lebih dalam warisan intelektual Pramoedya yang tertuang dalam karya-karyanya. Mulai dari isu sosial-politik, budaya, pendidikan, hingga problematika masyarakat, semuanya diramu dengan gaya sastra yang khas.
“Pramoedya bukan sekadar penulis. Dia adalah cermin bangsa yang mengajarkan kita untuk berpikir kritis,” ujar Kumaidi.
Baca Juga: Kronologi Anak Bunuh Ayah Kandung di Jember hingga Kepala dan Badan Korban Terpisah
Bagi para pegiat literasi yang hadir, momen ini bukan hanya tentang mengenang Pramoedya, tetapi juga menjadi refleksi bagaimana literasi dapat menjadi alat untuk merawat intelektualisme di era modern.
“Sepuluh tahun Gerakan Tuban Menulis ini adalah awal. Kami ingin terus melangkah, merawat, dan mengembangkan literasi untuk semua kalangan,” kata Sifyani, salah satu peserta.
Semangat Pramoedya seolah hadir, mengalir bersama diskusi-diskusi yang sarat makna. GTM pun kembali menegaskan misinya, membangun Tuban sebagai pusat literasi yang hidup dan berkelanjutan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News Tugujatim.id
Writer: Mochamad Abdurrochim
Editor: Dwi Lindawati