Oleh: Muhammad Hilal*
Tugujatim.id – A Hero adalah film asal Iran yang menawarkan cerita cukup kompleks. Film-film negeri para mullah itu memang selalu demikian. Penonton dibikin berdebar-debar meski ceritanya bisa dibilang sederhana.
Rahim Sultani (Amir Jadidi), si tokoh utama, seperti mendapat durian jatuh. Dia mendapat angin segar bahwa dia akan segera keluar dari penjara berkat keputusannya mengembalikan 17 koin emas kepada pemiliknya. Keputusannya itu diketahui publik dan dia dielu-elukan bak seorang pahlawan.
Kepala Lapas memuji-muji keputusannya. Itu berarti lembaganya berhasil membina dan memulihkan tahanannya. Maka mereka ingin menunjukkan keberhasilan itu.
Diundanglah kru TV lokal untuk meliput tindakan kepahlawanan Rahim—dan, dengan demikian, kesuksesan lapas itu membina tahanannya. Media sosial pun dimanfaatkan untuk menyebarkannya. Rahim jadi pahlawan lokal yang dikenal banyak orang.
Sebuah LSM yang bergerak di bidang peringanan tahanan pun turut membantu Rahim setelah kisah kepahlawanannya tersebar. LSM ini mengadakan gerakan amal untuk meringankan pengembalian utang Rahim, juga mencarikan tempat kerja untuknya. Dewi keberuntungan seolah sedang ada di pihak Rahim.
Namun apakah benar demikian? Tentu ini bukanlah film bagus jika ceritanya sebegitu lempangnya.
Rahim masuk penjara karena diadukan oleh mantan kakak iparnya yang bernama Bahram (Mohsen Tanabandeh). Bahram memberi utang besar pada Rahim untuk berdagang, namun ujung perniagaan Rahim berakhir di tangan rentenir. Itu sungguh mengecewakan bagi Bahram. Akhirnya dia mengadukan Rahim pada pihak berwajib dan menjebloskannya ke penjara.
Bahkan setelah perbuatan mengembalikan emas oleh Rahim itu tersebar, Bahram tetap sulit percaya pada ketulusan Rahim. LSM yang membantu menggalang dana amal untuk membayar utang Rahim pun turut mendorong Bahram agar dia memaafkan dan membebaskan Rahim dari penjara sehingga dia bisa bekerja untuk melunasi seluruh utangnya. Namun Bahram bergeming. Dia sudah kehilangan kepercayaan pada Rahim.
Perusahaan yang menurut LSM itu bersedia menerima Rahim bekerja juga ikut-ikutan ragu. Perusahaan ini belakangan tidak mau langsung mempekerjakan Rahim, kecuali dia berhasil membuktikan bahwa Rahim betul-betul mengembalikan koin emas itu. Tapi bagaimana Rahim harus membuktikannya? Orang yang mengaku sebagai pemiliknya sulit sekali dilacak.
Bukannya mendapat kemudahan, segalanya tiba-tiba jadi serba sulit bagi Rahim. Beredar desas-desus di media sosial bahwa kisah kepahlawanan Rahim hanyalah akal-akalan pihak lapas untuk menutupi kebobrokan internalnya. Perusahaan itu masih belum mau mempekerjakan Rahim. Pihak LSM yang mula-mula tulus membantu Rahim kini berbalik tidak mau menyerahkan uang hasil penggalangan amal karena mendengar desas-desus itu.
Rahim jadi frustrasi. Dia diliputi kecurigaan, dan kecurigaannya mengarah pada Bahram sebagai dalang semua kesulitan yang dialaminya, hingga mereka berdua cekcok dan terlibat perkelahian. Keadaan ini justru membuat posisi Rahim semakin runyam.
Inilah salah satu film Iran yang konsisten menjaga gayanya yang elegan. Kita tahu bersama, para sineas Iran amat mahir mengolah kisah sederhana menjadi suatu tontonan yang sarat makna.
Kisah yang diangkat adalah kisah orang-orang kecil (kawulo alit), orang-orang yang mewakili masyarakat biasa saja. Namun pengalaman yang dialami orang-orang itu tak pelak adalah cerminan dari masyarakat Iran. Pengalaman orang-orang kecil itu justru menjadi kritik pedas bagi orang-orang besar yang punya pretensi mengatur kehidupan orang-orang tadi.
Film ini seolah ingin menampilkan sosok Rahim sebagai cerminan masyarakat Iran yang tulus dan bersahaja, namun mendadak ditimpa banyak masalah karena menghadapi zaman baru. Iran yang ditunjukkan oleh film ini adalah Iran baru, di mana akan Anda lihat anak-anaknya kecanduan gawai, di mana media sosial sudah mulai menentukan benar-salah.
Permasalahan pascakebenaran (post-truth) sedang dihadapi oleh seluruh manusia di bawah kolong langit ini, tidak terkecuali Iran. Nasib Rahim yang diombang-ambing ketidakpastian adalah efek dari beredarnya desas-desus di media sosial.
Adegan yang menunjukkan betapa post-truth adalah senjata untuk membangun atau meruntuhkan reputasi adalah saat Salehi (Farroukh Nourbakht), si sipir penjara, mendatangi rumah Rahim. Kedatangannya ke situ adalah untuk mengembalikan reputasi lapas tempatnya bekerja. Caranya? Dia meminta Rahim mengaku pada publik tentang sesuatu yang tidak dikerjakannya. Salehi akan merekamnya dan menyebarkannya ke publik.
Namun pengakuan itu ternyata harus dilakukan oleh anak Rahim, yakni Siavash (Saleh Karimaei) yang gagap. Terbata-bata Siavash berusaha bicara di depan kamera, mengatakan sesuatu tentang tindakan ayahnya yang sebenarnya tidak pernah dilakukan. Rahim amat prihatin melihat anaknya kepayahan bicara bohong.
Namun bagi Salehi, itu tetap harus dilakukan, demi reputasi lembaganya yang terancam runtuh, juga mengembalikan reputasi Rahim sendiri. Seorang anak yang gagap, membicarakan tindakan heroik ayahnya, tentu itu akan jadi alat sempurna untuk menyentuh emosi penonton-dan, tentu, mengembalikan reputasi lembaganya-tak peduli meski itu lancung.
Setelah perekaman itu selesai, Rahim berubah pikiran. Dia tidak rela menjadikan anaknya sebagai alat kebohongan. Dia bersikeras meminta Salehi menghapus rekaman itu. Saking kerasnya hingga Rahim terlihat kalap, dan akhirnya Salehi bersedia menghapusnya.
Adegan itu seperti suatu simbol yang menyiratkan perlawanan Rahim pada post-truth. Meski efeknya tidak akan mengenakkan bagi Rahim, namun tampaknya dia sudah memutuskan bahwa nuraninya jauh lebih penting.
Barangkali, sesuai judulnya, sosok pahlawan yang ditampilkan oleh film ini adalah manusia tangguh dalam menjaga nuraninya di hadapan post-truth. Inilah pahlawan di era masyarakat baru.(*)
Biodata Film:
Judul: A Hero (قهرمان)
Sutradara: Asghar Farhadi
Pemeran: Amir Jadidi, Mohsen Tanabandeh, Sahar Goldoost, Fereshteh Sadre Orafaie, Sarina Farhadi, Saleh Karimaie, Farroukh Nourbakht.
Rilis: 2021 (Cannes), 2022 (Amazon Prime Video)
Durasi: 127 menit
Asal: Iran