MALANG, Tugujatim.id – Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan PPKM Darurat di wilayah Jawa-Bali pada 3 hingga 20 Juli 2021 menanggapi melonjaknya kasus Covid-19 di Indonesia. Di samping itu, pemerintah juga memperluasnya untuk 15 daerah lain di luar Jawa-Bali yang mulai berlaku Senin (12/7/2021) ini.
Menanggapi hal tersebut, pengamat kebijakan dari Universitas Brawijaya (UB), Dr Dhia Al-Uyun menilai bahwa PPKM Darurat hanya upaya insidental tanpa riset mendalam yang dilakukan oleh pemerintah.
“Kebijakan yang dilakukan tanpa riset mendalam, penanganan masih sektoral belum menyeluruh dan penyelesaian masih dalam level ‘pemadam kebakaran’. Perubahan nama ini (PPKM Darurat, red) tanpa sosialisasi dan evaluasi yang dilakukan tim pakar kesehatan,” terang perempuan yang juga Ketua Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) tersebut.
Ia berpendapat bahwa seharusnya pemerintah melakukan kajian sebelum dampaknya meluas seperti sekarang ini.
“Mestinya, sejak dari awal ada kajian mendalam tentang hal ini (pandemi Covid-19, red), sehingga dampak meluasnya dan meningkatnya kematian dapat diantisipasi,” tegas akademisi Fakultas Hukum (FH) UB tersebut..
Menurutnya, kebijakan PPKM Darurat ini merupakan kebijakan yang yang terlambat yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia setelah menghadapi pandemi selama 1,5 tahun terakhir ini.
“Terlambat. Bentuk tidak disiplin masyarakat sudah terbentuk 1,5 tahun yang lalu. Korban sudah terlanjur berjatuhan. Pendekatan perlindungan mengupayakan ‘insidental’, hanya dilakukan jika ada dampak yang luas,” terangnya, Senin (12/07/2021).
Dr Dhia menegaskan bahwa seharusnya para pakar kesehatan di Indonesia menjadi salah satu referensi pemerintah dalam menyusun kebijakan untuk mengatasi pandemi Covid-19. Hingga bisa menjadikan temuan-temuan setiap tenaga kesehatan sebagai prioritas utama dalam penanganan.
Apalagi kebijakan yang disusun pemerintah, tegas Dr Dhia, selalu ada poin-poin yang tidak konsisten. Hal itu membuat masyarakat kian menjadi lelah, apatis dan pesimis.
“Mestinya orang-orang kesehatan ini yang ada di garda terdepan memimpin proses penghentian pandemi Covid-19 dan menjadikan temuannya sebagai prioritas. Lelah, apatis dan pesimis. Lelah karena kebijakan yang diterapkan tidak konsisten. Apatis karena tiap kebijakan yang ditegakkan tanpa keseriusan,” tegasnya.
“Pesimis karena sudah ada peringatan dini tentang akan terjadinya ‘tsunami’ Covid-19, namun tidak ada upaya persiapan. Tindakan terjadi setelah ada dampak, misalnya ‘lockdown’ kantor setelah banyak yang positif Covid-19,” imbuhnya.
Kebijakan yang terbaik adalah untuk ‘survive’, jelas Dr Dhia, akibat kematian melonjak sangat tinggi. Ekonomi merupakan prioritas kedua setelah kesehatan. Ekonomi masyarakat di akar rumput justru bergerak lebih maju karena konsumsi mlijo, imbuh Dr Dhia, pasar kelontong lebih tinggi dibandingkan supermarket.
“Namun, pemerintah tidak memperhitungkan ini. Perhitungan pemerintah hanya pada ekonomi menengah ke atas yang hanya 10% dari penduduk Indonesia. Salah satunya dengan ‘Omnibus Law’. Pemerintah terbukti gagal menangani Covid-19 dan menyelamatkan rakyat,” bebernya.
“Ini yang saya bilang kebijakan dilakukan secara tergesa-gesa dan tebang pilih. Semestinya ada alternatif ketika penutupan itu dilakukan karena ini berhubungan dengan hak seseorang untuk bertahan hidup,” sambungnya.
Alternatif yang dimaksud Dr Dhia adalah pengalihan usaha dengan berbasis ‘online’ atau ‘delivery’, baru proses penutupan dilakukan. Namun, imbuh Dr Dhia, sayangnya penutupan ini masih tebang pilih, di berbagai lokasi cafe, minimarket, restoran sepanjang 24 jam masih nampak dibuka.
“Malang makin parah. Tempo waktu hingga 50 kematian tiap hari, itupun harus mengantri untuk dimakamkan hingga 2-3 hari karena relawan telah lelah (‘overload’, red) begitupun tenaga medis. Nampak emosional karena kelelahan dan pemerintah di daerah sulit berkoordinasi,” pungkasnya.