SURABAYA, Tugujatim.id – PW GP Ansor Jawa Timur menyorot kinerja tim percepatan akses keuangan daerah (TPAKD) yang gencar dibentuk di berbagai daerah. Ansor Jatim menilai gerakan TPAKD hanya seremonial tanpa aksi nyata karena akses keuangan UMKM rendah.
Wakil Sekretaris PW GP Ansor Jatim Zulkarnain Mahmud saat ditemui di Graha PW GP Ansor Jawa Timur, Selasa (04/04/2023), mengatakan, sorotan tajam tertuju pada TPAKD.
Berdasarkan data yang dihimpun, tim PW GP Ansor Jatim share kredit UMKM masih rendah, yakni 18 persen. Menurut dia, ini imbas terbatasnya akses pembiayaan terhadap UMKM. Akibatnya, pengembangan dan penciptaan usaha baru UMKM terhambat. Selain itu, penciptaan lapangan kerja jadi terbatas.
“Angka share kredit masih 18% untuk UMKM. Ini sangat rendah sekali. Tujuan dibentuk TPAKD untuk memperluas akses keuangan masyarakat, khususnya UMKM. Padahal, pemerintah gencar menggaungkan UMKM bangkit pasca pandemi. Mirisnya, melihat data masih sangat rendah akses keuangannya,” terang Zulkarnain.
Zulkarnain Mahmud mengatakan, angka kredit share UMKM juga masih rendah sekitar 38,5 % dengan breakdown data hanya sekitar 12% untuk sektor pengolahan dan sekitar 16% untuk pertanian.
“Artinya, angka ini jauh dari langkah nyata menghidupkan UMKM sebagai sektor strategis ekonomi kerakyatan. Angka itu jelas belum berpihak pada penguatan manufaktur UMKM dan sektor pangan kita. Itulah mengapa saya sebut TPAKD ini hanya bunyi-bunyian saja,” tambahnya.
Apalagi melihat angka PHK yang mengkhawatirkan dan terus naik, harapannya sektor UMKM mampu menjadi tonggak ekonomi rakyat. Karena itu, perlu langkah nyata dengan sinergi lintas sektor untuk mendorong perluasan akses keuangan masyarakat.
“Ketidakpastian ekonomi global di tengah geopolitik internasional yang terus memanas membuat semua harus serius memperhatikan UMKM sebagai benteng pertahanan nasional dari inflasi. Ini harus dikuatkan dengan peningkatan akses keuangan yang baik,” ungkapnya.
PW GP Ansor Jatim juga menyorot bagaimana edukasi literasi keuangan untuk masyarakat. Indeks literasinya masih jauh di bawah indeks inklusi keuangan.
“Indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia harus terus ditingkatkan. Sebab, berada di angka 49,68 %. Artinya, sangat jauh dengan indeks inklusi keuangan yang berada di angka 85,10%,” katanya.
Artinya, dia mengatakan, tingkat inklusi tinggi dengan literasi rendah menunjukkan potensi risiko yang begitu tinggi. Sebab, meski masyarakat memiliki akses keuangan, sebenarnya mereka tidak memahami fungsi dan risikonya.
“Kalau TPAKD masih bunyi-bunyian, kasihan UMKM kita dong. Pemerintah dan semuanya harus sinergi agar akses keuangan masyarakat khususnya UMKM menjadi signifikan dengan nilai manfaat yang lebih besar. Terpenting untuk terus meningkatkan literasi keuangan masyarakat sebagai fondasi percepatan akses keuangan,” ujarnya.