Tugujatim.id – Apa arti tagar All Eyes on Papua yang beberapa waktu lalu ramai muncul di berbagai platform media sosial. Sebenarnya apa yang terjadi di Papua? dan apa maksud dari tagar itu?
Tagar “All Eyes on Papua” merupakan bentuk dukungan dari masyarakat Indonesia terhadap suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan beserta Suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya. Masyarakat dari kedua suku tersebut melakukan demo di depan Mahkamah Agung di Jakarta Pusat, Senin tanggal 27 Mei 2024.
Mereka jauh-jauh ke Jakarta untuk berjuang mempertahankan tanah nenek moyang mereka dan menghentikan pembangunan kebun sawit.
Dalam video yang beredar di media sosial, kedua suku tersebut menggunakan pakaian adat mereka dan menyuarakan pendapat mereka untuk melindungi hutan Papua dan tempat tinggal Suku Awyu dan Suku Moi. Dari sebuah video di platform X terlihat bahwa Suku Awyu dan Suku Moi melakukan ritual adat di depan gedung Mahkamah Agung.
Hutan Papua sendiri merupakan salah satu hutan yang memiliki keindahan alami yang menarik dan memiliki beragam flora dan fauna, tentu membuat siapapun yang mengunjunginya kagum akan keindahannya. Hutan Papua memiliki peran penting sebagai salah satu paru-paru dunia dan mencegah perubahan iklim di dunia.
Tidak heran jika banyak masyarakat Indonesia ikut serta meramaikan tagar ini agar pemerintah menanggapi gugatan dari Suku Awyu dan Suku Moi. Hutan di Papua menjadi rumah dan tempat tinggal bagi banyak suku, termasuk memanfaatkan hasil hutan untuk kehidupan sehari-hari.
![Begini Arti Tagar All Eyes on Papua Usai Trending di Sosmed 2 arti Tagar All Eyes on Papua](https://tugujatim.id/wp-content/uploads/2024/06/all-eye-on-papua.jpg)
Sejumlah artis juga turut serta membagikan tagar ini sebagai bentuk dukungan keadilan bagi Suku Awyu dan Suku Moi. Netizen menyuarakan atensi dan dukungan mereka untuk pembebasan hutan Papua dari pembabatan hutan. Sehingga banyak dari netizen Indonesia yang melakukan sebuah petisi melalui Greenpeace dengan tagline “Saya Bersama Hutan Papua”.
Arti “All Eyes on Papua” adalah dukungan atas masalah yang berawal dari aktivitas PT Indo Asiana Lestari yang akan membabat hutan di Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.
Dilansir dari laman GreanPeace, Hendrikus Woro, Pejuang Lingkungan Hidup dari Suku Awyu, menggugat pemerintahan Provinsi Papua karena memberikan izin pada PT Indo Asiana Lestari yang akan membabat sebesar 36.094 hektare, dan berada pada hutan bagian dari Suku Awyu.
Suku Awyu juga ke mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, yang merupakan dua perushaan yang sudah dan akan berekspansi di wilayah Kabupaten Boven Digoel.
Sedangkan di Sorong, PT Sorong Agro Sawitindo juga akan membabat 18.160 hektare hutan adat dari Suku Moi di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Setelah hakim menolak gugatan awal pada januari lalu mengenai mengajukan diri sebagai tergugat intervensi di PTUN Jakarta di Desember 2023, Suku Moi mengajukan kasasi pada tanggal 3 Mei 2024 di Mahkamah Agung, para pejuang lingkungan hidup di Suku Moi melakukan doa serta ritual adat di depan gedung Mahkamah Agung.
“Hutan adat adalah tempat kami berburu dan meramu sagu, hutan adalah apotek bagi kami, kebutuhan kami semua ada di hutan. Kalau hutan adat kami hilang, mau kemana lagi kami pergi?” ujar Fiktor Klafiu, seorang perwakilan dari Suku Moi.
Hutan yang ingin dibabat oleh PT Indo Asiana Lestari dan PT Sorong Agro Sawitindo merupakan sebuah hutan yang menyimpan flora dan fauna endemik Papua.
Mengutip dari Greenpeace, dikhawatirkan apabila terjadi pembabatan pada kedua hutan tersebut maka operasi ini akan menyebabkan deforestasi yang akan melepas sebanyak 25 juta ton CO2 ke atmosfer dan hal ini akan memperburuk perubahan iklim yang terjadi di dunia global maupun tanah air.
Saat ini, Suku Awyu sedang mengajukan kasasi di lembaga peradilan tertinggi sebagai harapan terakhir mereka, karena pada lembaga peradilan tingkat satu dan kedua gugatan mereka di tolak.
Masyarakat Suku Awyu dan Suku Moi telah melakukan perjalanan selama 48 jam ke Jakarta dengan mengenakan busana khas suku masing-masing.
Menurut sebuah video yang beredar di media sosial melalui akun tiktok. @wespeakup.org, Hendrikus Woro menyampaikan, “Di tempat kami, itu ada terancam oleh perusahaan atau investasi perusahaan perkebunan kelapa sawit. Hal ini pelanggaran HAM, kami ini korban pelanggaran HAM, ini hak kami, hak mutlak.”
Kini, Suku Awyu dan Suku Moi tetap terus mempertahankan hutan adat mereka meskipun diterpa oleh berbagai proses yang rumit. Hal ini membuat atensi publik menuju permasalahan mereka dan mendukung Suku Awyu dan Suku Moi melalui tagar “All Eyes on Papua”.
Writer: Zaafira Adelia
Editor: Imam Abu Hanifah