Tugujatim.id – Nama Bagus Putra Muljadi atau lebih dikenal dengan Bagus Muljadi menjadi perhatian publik saat hadir dalam podcast #Endgame milik Gita Wirjawan. Pria yang dikenal sebagai diaspora di Britania Raya itu, saat ini sedang meniti karir sebagai Asisten Profesor di University of Nottingham.
Jalan yang ditempuh Bagus hingga menjadi seorang doktoral muda di bidang sains tidaklah mudah. Dalam video yang berdurasi lebih dari 60 menit itu, Bagus menceritakan perjalanan hidupnya sejak kecil hingga menjadi seorang peneliti muda seperti saat ini.
Raport Merah dan Mimpi Menjadi Pelukis
Lahir dan besar di Jakarta, Bagus adalah seorang anak dari pengusaha kecil. Sejak duduk di bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, Bagus bukanlah siswa dengan riwayat akademik yang begitu mumpuni saat itu.
Sama seperti siswa pada umumnya, Bagus juga kerap melakukan kesalahan seperti melanggar peraturan hingga raport merah. Dampak dari itu, orang tua Bagus kerap dipanggil pihak sekolah. “Mungkin tidak patuh, jadi ada tendensi untuk selalu melanggar peraturan,” ujar Bagus, saat ditanya alasannya.
Kendati demikian, saat kuliah, Bagus yang duduk di Program Studi Teknik Mesin ITB itu ternyata tidak jauh berubah dengan masa lalunya. Ia merasa bukanlah mahasiswa yang menonjol, karena IPK yang diperoleh hanya sebesar 2,69. Iapun menyelesaikan studi Strata-1 dalam kurun waktu lima tahun dan sangat pesimis untuk mendapatkan pekerjaan kala itu.
Siapa sangka, di balik dunia teknik yang ia tekuni, ternyata Bagus bermimpi untuk menjadi seorang pelukis. “Sebenarnya saya bermimpi untuk jadi pelukis atau pemain band atau penulis,” ungkapnya.
Hal tersebut lantaran sejak SMA, ia kerap mengikuti kegiatan seperti band sebagai vokalis, membaca puisi, dan menggambar. Saat itu, untuk melanjutkan kesenangannya di dunia perlukisan, Bagus sempat hendak mengambil Jurusan Arsitektur di Universitas Parahyangan, Bandung. Namun takdir berkata lain, ia kemudian memutuskan untuk mendalami dunia teknik hingga saat ini.
Tantangan Dalam Setiap Perjalanan
Meski tanpa beasiswa, Bagus tetap meneruskan perjalanan akademiknya hingga ke Taiwan. Dengan mengambil jurusan Mekanika Terapan di National Taiwan University, Bagus membagi waktu kuliahnya untuk menjadi seorang sales pompa air. Kesulitan bahasa hingga belajar ilmu baru menjadi tantangan untuk seorang Bagus Muljadi. Namun prinsip yang tertanam pada dirinya mampu menjawab segala rintangan yang menghantui.
Masa-masa sulit yang ia temui di Taiwan ternyata menjadi sebuah keberhasilan bagi diri seorang Bagus. Ia mengatakan bahwa kepercayaan dirinya semakin meningkat setelah ia menyelesaikan studi di Taiwan. Siapa sangka ternyata hal tersebut yang kemudian mengantarkannya untuk melanjutkan Post Doctoral di Tolouse Perancis di bidang Matematika dan Ilmu Bumi.
Walaupun tidak fasih berbahasa Perancis, namun ia tetap yakin bisa menyesuaikan dengan baik seperti pengalaman saat ia berada di Taiwan. “Akhirnya saya ambil kesempatan untuk pergi ke Perancis, walaupun ke departemen yang berbeda,” ucapnya.
Kemudian ia merasa bahwa pada saat itu, karir akademiknya mengalami peningkatan hingga Imperial Collage London tertarik untuk memberikan pekerjaan kepadanya. Bekerja sebagai post-doc selama tiga tahun di Departemen Ilmu Bumi, Bagus akhirnya menemukan zona nyaman setelah sekian jauh perjalanan yang ia tempuh saat tinggal di luar negeri. Hal tersebut lantaran penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari yang ia gunakan untuk berkomunikasi dengan orang sekitar.
Kenyamanan itu berhasil dimanfaatkan Bagus untuk semakin mengembangkan karir akademiknya, hingga mendapatkan tenure position di University Nottingham. Bagus saat itu menjadi orang Indonesia pertama yang mendapatkan tenure di bidang teknik Departemen Teknik Kimia dan Lingkungan.
Bagus Muljadi dan Impiannya Untuk Indonesia Emas
Sebagai peneliti muda yang saat ini tengah hidup di negeri orang, Bagus Muljadi tetap menaruh harapan besar untuk perubahan Indonesia. Menuju usia Indonesia yang akan menyentuh angka 100 tahun, Bagus menekankan pentingnya kesetaraan gender dalam sebuah peradaban.
Menurutnya, tidak ada yang membedakan intelektualitas antara laki-laki dengan perempuan. Berdasarkan data, sudah begitu jelas bahwasanya dengan pengukuran IQ dari berbagai spektrum, laki-laki dengan perempuan tidak ada perbedaan. Mungkin dalam bidang distribusi ada, tetapi secara kuantitatif tetap sama.
Ia menilai bahwa yang menjadi penyebab rendahnya angka partisipatif dari perempuan disebabkan oleh minat. Minat itu sendiri menjadi hal yang bisa dimodifikasi. Padahal, ada kebutuhan di bidang STEM yang memanggil bakat-bakat perempuan. Sehingga untuk mengatasi hal tersebut, Bagus menilai perlu adanya demistifikasi STEM di komunitas perempuan. Agar perempuan tidak menganggap bidang STEM adalah momok serius, karena selama ini cenderung di dominasi oleh laki-laki.
Terakhir ia menyampaikan, sudah saatnya Indonesia punya Habibie baru yang bergender peempuan.