Tugujatim.id – Syakban merupakan bulan yang mulia. Sering juga dinisbatkan bulannya Rasululllah SAW. Bagi umat Islam, bulan kedelapan dari penanggalan hijriyah ini memiliki banyak keutamaan. Salah satunya nisfu Syakban atau pertengahan bulan.
Sebagian jumhur ulama mengemukakan pada malam nisfu syakban catatan amalan umat manusia ditutup dan diganti yang baru.
Tak heran, umat muslim terutama di Indonesia memiliki amalan rutin pada malam itu. Berbagai kalangan memperingatinya dengan membaca istigotsah, doa bersama, membaca surat Yasin sebanyak tiga kali, dan lain sebagainya.
Dikutip dalam Nu online di mana dilansir dalam kitabnya Ma Dza fi Sya‘ban yang ditulis oleh Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, meskipun status beberapa hadits ada yang lemah (dhaif) namun dalil tambahan untuk menambah semangat ibadah itu bisa dibenarkan.
Dasar pemahaman hal tersebut merupakan pemahaman para ulama dari Al-Qur’an surat Ad-Dukhan ayat 3 dan 4.
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (3) فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ (4)
Artinya, “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami adalah para pemberi peringatan. Di dalamnya dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.”
Dalam beberapa tafsir, Ikrimah maupun beberapa mufassir seperti Al-Qurthubi menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “malam yang diberkahi” itu adalah malam nisfu syakban. Selain itu, ada beberapa hadits lain yang juga menyebutkan pentingnya malam nisfu syakban.
Pemahaman ayat di atas ternyata menimbulkan polemik, karena jumhur ulama berpendapat bahwa “malam yang berkah” itu adalah malam lailatul qadar. Tapi, Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki tak lantas menyatakan bahwa pendapat tentang perihal nisfu syakban itu salah.
Ulama yang juga menulis Mafahim Yajibu an Tushahhah ini menyatakan bahwa penafsiran kalimat “malam yang berkah” dalam surat Ad-Dukhan di atas dengan lailatul qadar adalah lewat metode tarjih, yaitu mengunggulkan satu riwayat atau penafsiran atas lainnya.
Namun, masih kata Sayyid Muhammad, jika digunakan metode jam’ur riwayat, yaitu mengumpulkan beberapa riwayat lain dan berusaha memberi jalan tengah pemahaman, maka pernyataan ulama, takdir dan ketetapan Allah diputuskan serta dicatat di malam nisfu syakban bisa dibenarkan.
Sayyid Muhammad Al-Maliki mengutip riwayat Abu Dluha dari Ibnu Abbas, “Sungguh Allah menetapkan putusan dan takdir pada malam nisfu syakban dan menyerahkannya pada para pengampunya pada malam lailatul qadar”.
Komentar Sayyid Muhammad Al-Maliki atas tafsir dan riwayat tersebut berbunyi bahwa Allah dengan kuasa-Nya menetapkan takdir di Lauh Mahfuzh pada malam nisfu syakban.
Pada malam lailatul qadar, Allah SWT mengutus malaikat untuk memenuhi tugas-tugas terkait takdir seseorang yang telah ditetapkan.
Semisal pada malaikat maut, Allah menyerahkan takdir umur seseorang kepadanya. Begitupun terkait takdir rezeki, maka diserahkan kepada malaikat yang mengampu tugas menebar rezeki itu.
Dari berbagai pendapat di atas, maka melakukan amalan maupun berdoa di nisfu syakban dengan mengharap takdir dan qadla’ yang baik dengan meyakini bahwa segala takdir seseorang dicatat pada nisfu syakban bisa dibenarkan.
Setiap manusia pada dasarnya selalu mengharap ketetapan terbaik dari Tuhannya. Di malam nisfu syakban. Maka, mari mempertebal keimanan bahwa takdir dan segala ketetapan hidup seseorang semata-mata adalah kuasa Allah, seraya senantiasa bermunajat kepada-Nya memohon catatan takdir yang dipenuhi kemuliaan dunia dan akhirat.