PEKANBARU, Tugujatim.id – Indonesia menjadi produsen minyak sawit di dunia pada 2021. Total luas perkebunan kelapa sawit mencapai 15,8 juta hektare, menurut data rilisan Kementerian Pertanian.
Masih berdasarkan sumber yang sama, mayoritas perkebunan sawit Indonesia terhampar di Pulau Sumatera (enam provinsi) dan Pulau Kalimantan (empat provinsi), yakni seluas lebih dari 14 juta hektare. Sedangkan total luas perkebunan sawit nasional pada 2021 mencapai 15,08 juta hektare.
Sesuai urutan lahan perkebunan terluas, Riau menjadi pemilik perkebunan kelapa sawit terluas (2,89 juta hektare), disusul Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Selatan, Aceh, dan Sumatera Barat.
Jadi, jangan heran dan kaget jika Anda berkendara melintasi jalan lintas timur Sumatera dari Bandar Lampung sampai Pekanbaru, misalnya, Anda akan lebih banyak dan lebih lama menatap kelapa sawit ketimbang rumah penduduk yang berjauhan di sepanjang lintasan bertepi perkebunan sawit. Populasi penduduk terkonsentrasi ibu kota kecamatan maupun ibu kota provinsi.
Melintasi wilayah Riau lebih memacu adrenalin, kekuatan fisik, dan kesabaran. Mayoritas jalan lintas timur Riau melewati punggungan bukit yang berkelok-kelok dengan kondisi lebar jalan rata-rata 7-8 meter. Sudah begitu, panasnya minta ampun. Saking panasnya, serasa ada dua matahari di Riau. Ini sih candaan seorang pengendara asal Jakarta yang saya jumpai di Rengat, Ibu Kota Kabupaten Indragiri Hulu.
Saat melintas dari Jambi ke Pekanbaru pada 8-9 Mei 2022, saya melihat banyak kegiatan orang mendodos atau memanen, menimbang, dan mengangkut tandan buah segar (TBS) sawit. Saking banyaknya, tak mungkin semua saya hampiri karena bakalan tak sampai-sampai di Kota Medan sebagai tujuan akhir perjalanan dari Kota Malang (berangkat 30 April 2022), kecuali saya ingin rehat sejenak.
Di Desa Selensen, Kecamatan Kemuning, Kabupaten Indragiri Hilir, saya berjumpa Wahyu Makmur, petani sekaligus pengepul TBS sawit. Dia dibantu tiga temannya.
Menurut Wahyu, harga TBS sawit saat ini anjlok 50 persen dari harga Rp3.400, jadi Rp1.700 per kilogram. Harga ini pun sudah lumayan karena sebelumnya sempat terjun bebas hingga menyentuh angka Rp1.400 per kilogram.
“Yang merasakan turunnya harga sawit bukan saya saja, Pak. Ini merata di Riau. Harga tergantung pabrik juga sehingga bisa naik bisa turun tanpa pemberitahuan lebih awal,” kata Wahyu, Minggu (08/05/2022).
Seluruh TBS yang dikumpulkan Wahyu memang dijual kepada pabrik kelapa sawit (PKS). Harga pembelian TBS oleh PKS bisa saja berbeda tipis di tiap daerah. Kadang tergantung negosiasi juga. Dia sendiri tidak menyebutkan nama PKS langganannya.
Namun, Wahyu menukas, fluktuasi harga TBS sawit lebih banyak dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Jatuhnya harga sawit saat ini merupakan dampak kebijakan labil pemerintah perihal larangan ekspor bahan baku minyak sawit atau crude palm oil (CPO) sejak 28 April lalu. Kebijakan ini sebenarnya bagus untuk mengatasi masalah kelangkaan minyak goreng.
“Masalahnya, kebijakan pemerintah belakangan ini soal minyak goreng berubah-ubah. Tidak ada pemberitahuan ke bawah dan juga tidak ada solusi bagi kami yang merasakan langsung dampaknya di bawah. Tapi mau gimana lagi, kami cuma rakyat kecil, ya cuma bisa pasrah dan nikmati sajalah kondisi ini,” kata Wahyu.
Hal terpenting bagi Wahyu sekarang ialah sawitnya tetap laku meski berharga murah. Lebih baik biji sawitnya laku daripada membusuk dan terbuang percuma.
Keluhan serupa disampaikan Horas Siahaan dan Petrus Hutagalung di Desa Kulim, Kecamatan Tenayan Baru, Kota Pekanbaru, atau 280 kilometer dari tempat tinggal Wahyu Makmur di Desa Selensen.
Menurut Horas, harga TBS di kampungnya berkisar Rp1.300 per kilogram. Secara umum, harga TBS di tingkat petani turun 30-40 persen. Tapi dia malas memikirkan masalah jatuhnya harga TBS berlarut-larut karena baginya masalah kelapa sawit dan minyak goreng sangat pelik. Pemerintah pun sebenarnya sudah sangat kepayahan berusaha mengendalikan harga minyak goreng.
“Yang penting sabar dan bertahan saja dulu. Yang penting lagi barangnya laku. Ini lebih baik daripada busuk dan kubuang, kan enggak rugi-rugi kalilah,” kata Horas, Senin sore (09/05/2022).
Horas cuma bisa berharap agar pemerintah membuat kebijakan yang pasti dan konsisten untuk segera memastikan habisnya masa larangan ekspor CPO.
Selama perjalanan, saya sempat melihat tandan sawit yang bertumpuk-tumpuk di beberapa tempat berbeda. Mungkin saja tandan sawit ditumpuk sambil menunggu diangkut, bisa juga memang tak laku karena di beberapa lokasi tandan sawitnya sudah menghitam dan berdebu seperti membusuk.
Informasi yang saya dapat saat rehat di beberapa tempat, tandan sawit memang jangan ditumpuk atau disimpan lama-lama, sebaiknya cukup 24 jam ditumpuk sejak dipanen atau didodos dari kebun untuk disetor ke pabrik. Lewat dari sehari, tandan sawit bisa membusuk dan dibuang, atau dijadikan pupuk kompos.(ABDI PURMONO)
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugujatim , Facebook Tugu Jatim ,
Youtube Tugu Jatim ID , dan Twitter @tugujatim