RENGAT, Tugujatim.id — Pada Minggu (8/6/2022) siang, saya memasuki Jalan Lintas Timur Sumatera atau Jalintimsum tepatnya di wilayah Kecamatan Muara Papalik, Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjabbar), Provinsi Jambi. Di jalan yang agak menanjak itu ada empat pemuda berkaus hitam mendorong sebuah vespa butut yang dimodifikasi secara ekstrem.
Motor tersebut menyerupai mobil gerobak. Tampilannya sangat nyeleneh, sarat aksesoris dari barang bekas. Misalnya, botol minuman dan botol oli. Botol-botol itu ditata saling tersambung membentuk persegi panjang seperti bak truk.
Dalam perjalanan mudik ini, saya tak pernah menyangkan akan bertemu dengan komunitas vespa gembel atau rat bike ini. Komunitas ini biasanya populer dengan sebutan vespa ekstrem.
Dihitung dari tanggal saya berangkat dari Malang 30 April 2022, perjalanan kali merupakan perjalanan hari kesembilan. Sebelumnya saya rehat selama dua malam di Kota Jambi. Kini saya menuju Kota Rengat, Ibu Kota Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau.
Karena sedang berpacu dengan waktu, saya tak sempat memotret kemunculan komunitas vespa ekstrem itu. Saya terus memacu sepeda motor dan beristirahat untuk makan siang di Rumah Makan Barokah Wong Solo, tepi Jalintimsum Kilometer 119, Desa Merlung, Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjabbar. Warung ini sedang dipenuhi pengunjung dan saya hampir tidak kebagian tempat duduk.
Saya melanjutkan perjalanan setelah setengah jam di sana sampai akhirnya bertemu lagi dengan dua kelompok vespa ekstrem di Jalintimsum Desa Kampung Baru, Kecamatan Batang Asam, Tanjabbar, persis di seberang Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Batang Asam, sekitar 60 kilometer dari lokasi pertama saya berpapasan dengan kelompok vespa ekstrem di Muara Papalik. Mereka berhenti akibat salah satu mesin mobil gerobak ngadat dan sedang diperbaiki.
Seperti saya katakan di atas, saya memang tidak menyangka bisa bertemu rombongan vespa ekstrem. Jumlah anggota komunitas vespa ekstrem yang saya jumpai di Batang Asam sekitar 15 orang, lebih banyak dari pegiat vespa ekstrem yang saya lihat di Muara Papalik. Kesamaan mereka adalah sama-sama bertato, baik anggota remaja maupun anggota senior.
Keragaman ornamen dan banyaknya barang bawaan membuat tampilan fisik dua mobil gerobak ini lebih nyeleneh dan sangar. Lebar kedua mobil gerobak nyaris selebar badan jalan dan bodinya bertingkat dua. Tiap tingkat dikelilingi rajutan tali mirip paranet maupun jaring. Rajutan tali bersimpul pada delapan tiang bambu dan ada satu tiang kayu. Potongan terpal dan spanduk lusuh dipakai untuk menutupi bagian atas “kabin penumpang”.
Tiap lantai dijejali barang-barang bekas. Ada gitar lusuh, ban dalam dan ban luar vespa, galon air minum, jeriken, contong atau basung plastik, ember, tandu berayun alias tempat tidur gantung (hammock), kerucut lalu lintas (traffic cone), ratusan botol minuman mineral, serta dua unit vespa yang ditaruh di masing-masing mobil gerobak, lengkap sama peralatan bengkel dan onderdilnya.
Ujung bambu yang tersisa ditutupi kerucut lalu lintas, sekaligus jadi tiang umbul-umbul aneka warna. Terdapat pula beberapa tulisan di umbul-umbul maupun di bodi; antara lain “Balungan Kere”, “wes tau jeru” (sudah tahu dalam), “Columbus”, dan “Scooter Payah Tatto Jawa Sumatra” yang saya duga merupakan logo komunitas mereka.
Tiga monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) pun turut dibawa. Ketiga monyet merupakan pemberian seorang warga.
Saya tidak canggung mendekati mereka. Namun, awalnya mereka enggan berbicara dan cenderung menghindar kendati saya sudah bersikap dan bertingkah layaknya seorang teman. Ya, saya mafhum dan harus bersabar hingga akhirnya mereka bersikap hangat dan ramah.
Menurut Acing, anak-anak vespa ekstrem sering dicap negatif karena penampilan mereka yang kumuh dan bertato. Mereka sering dianggap suka mengganggu ketertiban masyarakat dan membahayakan keselamatan pengguna jalan. Acing sangat heran pada masyarakat yang gampang menghakimi mereka dengan cap jelek. Padahal, Acing menegaskan, mayoritas anak vespa ekstrem tahu tata krama di jalan dan baik-baik pada masyarakat.
“Tapi kami sikapi biasa saja, enggak sampai dendamlah. Jadi mohon pengertiannya kalau kami tidak bisa langsung terbuka. Kami pun baru percaya Mas memang pemudik setelah lihat plat nomor kendaraan N dan jiriken BBM (bahan bakar minyak) yang Mas bawa,” kata Acing, pemuda asal Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah.
Acing mengatakan, mereka berangkat dari Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat, lima bulan lalu. Total, berdasarkan petunjuk Google Maps, mereka sudah menyusuri rute sepanjang 1.009 kilometer dari Karawang hingga Batang Asam.
Tidak semua anggota rombongan berangkat dari titik keberangkatan yang sama. Daerah asal mereka juga beragam. Selain Karawang, ada anggota rombongan yang berasal dari Magelang seperti Acing, Subang, Jakarta, Tangerang, Jambi, Bengkulu, dan Pekanbaru. Kendati berangkat lima bulan lalu, tapi ada anggota yang sudah “mengaspal” selama satu tahun.
“Kebetulan aja ketemunya di jalan, ya kami saling sapa, terus disamperin, terus ada yang ikut. Kami tak bisa larang, kan nambah teman, nambah sodara. Makanya ikutlah mereka jalan-jalan berlebaran Jawa-Sumatera. Gitulah kami bersolidaritas,” kata Acing.
Komeng menguatkan penjelasan Acing. Pemuda asal Jambi ini mengikuti rombongan vespa ekstrem semenjak dari Merlung dengan membawa vespa gembel sendiri. Komeng sadar betul perjalanan rombongan vespa ekstrem itu tidak punya tujuan khusus kecuali hanya untuk jalan-jalan mencari jati diri, pengalaman, dan persaudaraan. Tiap anggota rombongan boleh turun di daerah yang suka atau tetap bersama rombongan.
“Kami bisa kenal kawan-kawan senasib di jalan yang berasal dari beragam daerah. Kami punya moto ‘satu vespa sejuta saudara’, makanya ikatan solidaritas kami sangat kuat,” ujar Komeng.
Bentuk solidaritas itu dibuktikan Komeng dengan membiarkan siapa pun anggota rombongan menggunakan vespa miliknya untuk tujuan yang jelas, terutama untuk belanja logistik. Maklum, Komeng dan semua anggota rombongan harus pintar berhemat fulus.
Komeng sendiri beberapa kali bergerak mencari bantuan untuk memperbaiki mesin vespa, beli BBM, belanja makanan dan minuman, atau keperluan lain. Vespanya memang jadi andalan karena rombongan vespa ekstrem itu tak punya kendaraan yang berfungsi sebagai kendaraan siaga kecuali satu mobil gerobak yang harus dihemat bahan bakarnya.
Umumnya mobil gerobak berjalan lambat di jalan datar; kepayahan melaju dan bermanuver di jalan berkontur turun naik, bergelombang, dan rusak. Penyebabnya tiada lain kondisi mesin yang renta, lebar bodi gerobak yang hampir selebar badan jalan, plus lantai gerobak yang cuma setinggi 20 sentimeter atau kira-kira sejengkal tangan orang dewasa dari permukaan aspal sehingga gampang tersangkut batu, tonjolan aspal, batu besar atau benda keras lainnya.
“Kami bisa agak ngebut kalo jalannya datar dan mulus. Kami sudah biasa terperosok di jalanan berlubang dalam dan di situlah serunya,” ucap Komeng, yang kemudian terbahak.
Perbaikan mesin rusak dilakukan oleh tiga anggota rombongan. Mereka tampak kompak dan teliti. Salah seorang di antara mereka mengaku bukan mekanik. Kemampuan memperbaiki mesin dipelajari secara otodidak. Terkadang, saat kerusakan mesinnya berat, mereka menelepon pegiat vespa ekstrem yang mahir memperbaiki mesin untuk meminta tolong.
“Di Google banyak tutorial servis mesin vespa dan kendaraan lain. Kadang, pas ngumpul-ngumpul, kami juga diajari kawan yang jago (perbaiki) mesin. Kalau ada onderdil yang kurang, kami ngandalin gotong royong untuk mencari atau membelinya,” ujar anak muda bertopi terbalik.
Gotong royong jadi kata kunci kekuatan solidaritas mereka. Acing dan Komeng mengaku membawa sedikit uang. Begitu pula dengan anggota rombongan lainnya. Mereka berpatungan semampunya, minimal sekadar untuk membeli minuman. Tatkala hampir kehabisan duit, mereka biasa mengamen pakai gitar dan meminta sumbangan di jalan. Mereka pantang baper bila hasilnya nihil. Ketimbang baper, mereka lebih memilih “nyablon” alias nyantai bloon sambil mendengarkan musik.
Acing dan Komeng cuma tertawa saat diminta memperjelas istilah nyablon. Tentu saya tak boleh memaksa mereka untuk menjawab. Cukuplah saya duga-duga saja. Yang jelas, saya sempat melihat salah seorang di antara mereka berdiri di tengah Jalintimsum untuk meminta sumbangan dengan menyorongkan topi kepada setiap pengendara. Sedikitnya ada tiga supir truk dan empat pesepeda motor yang berdonasi.
Uang hasil sumbangan kemudian dibelikan sebungkus rokok, sebungkus biskuit dan camilan lain, tiga minuman botol, dan satu jiriken besar berisi tuak. Mereka tidak berebutan, semua dapat bagian.
Kata Komeng, “Makanan segini ini memang tak bikin kenyang, tapi kami juga tidak kelaparan. Kami bisa tidur di mana saja, biasa gak makan dan biasa tahan lapar, tapi kami bukan orang-orang yang lemah dan gampang menyerah.”
Keterbatasan bukan alasan untuk menghentikan perjalanan. Mereka bertekad melanjutkan tur panjang hingga ke Kota Sabang di Kepulauan Weh, Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Ada sedikit keraguan sewaktu mengetahui Pemerintah Provinsi Aceh memberlakukan peraturan daerah atau qanun tentang pelaksanaan syariat Islam sejak tahun 2000.
Namun, mereka bergeming hendak ke sana. Mereka optimistis perjalanan mereka lancar-lancar saja sampai Sabang karena mereka bukan kelompok berandalan. Paling-paling nanti mereka disetop polisi karena ketidaklengkapan surat-surat kendaraan atau lantaran kendaraan mereka dinilai melanggar standar persyaratan teknis di jalan raya, sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
“Ini jalan hidup kami. Kami tidak mengganggu siapa pun dan tidak mau diganggu. Penampilan kami memang gembel, tapi kami bukan koruptor, bukan kriminal,” kata Komeng.
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugujatim , Facebook Tugu Jatim ,
Youtube Tugu Jatim ID , dan Twitter @tugujatim